60. Menguntit

16 2 0
                                    

Duduk di samping Kiran aku memeluk Kiran dengan erat. Kiran bingung dengan sikapku. Dia mulai khawatir dan mengusap-usap punggungku. Kavi juga ikut-ikutan memeluk Kiran. Sekarang Kiran berada di tengah menjadi sandaran kita. Dia semakin bingung.

"aku ingin membunuh seseorang" ucapku lirih.

"sebelum kau bunuh aku ingin menyiksanya terlebih dahulu" ucap Kavi menambahkan.

Kiran semakin bingung. Aku menjelaskan semua kejadian yang kualami hari ini mulai dari di tangga Laborat lalu Angga marah dan Kavi yang bertengkar dengan Angga. Bhale dan Juno ikut menyimak ceritaku dengan antusias. Mereka ikut terpancing dan menjadi geram. Spesies seperti itu harus dimusnahkan. Kavi juga menunjukkan sosial media Lutfi dan Angga. Kavi bahkan menceritakan secara detil bagaimana kesalnya dia ketika melihat Lutfi merintih dalam diam ketika Angga menjambak sekaligus mengeratkan genggaman lengannya.

"itu kekerasan, bagaimana caranya membantu Lutfi keluar dari jeratan iblis seperti itu ?" tanya Kiran dengan wajah tertekuk sedih.

"sulit. Lutfi akan membela Angga dengan dalih dia calon suaminya"

Kiran menepuk kening dengan menghela napas "semua orang yang jatuh cinta selalu bodoh"

"tidak juga, kita selalu bertemu cinta yang salah sebelum menemukan cinta sejati. Banyak hal yang bisa kau pelajari dari kesalahan itu. coba saja kau berpacaran" ucap Kavi

"tidak. Tidak, aku hanya akan berpacaran satu kali saja dengan orang yang tepat dan menikah"

"itu hanya ada di cerita dongeng"

"sudahlah, bagaimana sekarang. Kita biarkan saja mereka atau kita lakukan sesuatu" aku harus segera menghentikan pertikaian mereka sebelum semakin parah.

"aku ingin membantu tapi aku tidak tahu harus berbuat apa ?" Juno memberi jawaban.

"apa kita bawa Lutfi ke guru BK biar dia bisa bicara dengan terbuka dan mengubah pola pikirnya lebih rasional. Lutfi sudah terlalu buta karena cinta, itu gangguan psikologis." saran dari Kiran sangat tidak membantu.

"kampus tidak punya guru konseling" jawab Juno.

"psikolog ?" ucap Kiran

"apa kampus punya psikolog ?" tanya Kavi.

"sepertinya tidak" jawabku.

Sepertinya tidak menemukan jalan keluar yang baik. Aku memandang Bhale, aku penasaran dengan apa yang dia pikirkan karena dia hanya diam saja "kau ada saran ?"

"jika itu kekerasan, kita bisa cari buktinya lalu dilaporkan ke polisi tapi sebelum itu sebaiknya kita laporkan ke kampus dulu karena kekerasan mereka dilakukan di area kampus"

"apa kau yakin kampus akan bersikap adil ? bagaimana jika mereka malah menutupi kasus ini" tanyaku.

"kau tidak percaya dengan Prof Juri ?"

"kau benar, Prof Juri. kupikir kita akan melaporkan pihak rektor"

"sebelum melapor ke Prof Juri sebaiknya kalian mengumpulkan bukti dulu, rekaman atau foto"

"kalian ? maksutmu kita ?" tanyaku memperjelas ucapan Bhale.

"kalian saja, aku sibuk. Aku akan membantu membuat laporan ke Prof Juri"

"tidak bisa, kau harus berkontribusi"

"benar" Kiran menyetujuiku.

"hei aku tidak ada waktu, aku harus menyelesaikan penelitian jurnal ilmiahku. Aku harus ke perpus mencari buku. Aku tidak punya waktu untuk hal itu"

"tidak butuh alasan kau harus ikut" sekarang giliran Kavi memaksa.

"hei dengarkan aku" Bhale mencoba menenangkan kita semua "kita harus bagi tugas, aku yang melapor dan kalian yang mengumpulkan buktinya okey" Bhale bergerak cepat meninggalkan meja, aku tidak sempat menariknya.

academic adventuresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang