Waktu menunjukan pukul tujuh pagi ketika perempuan berparas sempurna bangun dari tidurnya, ia menggeliat sebentar lalu diam, memandang lurus ke langit-langit kamar, memorinya memutar kembali perjalanannya semalam di alam mimpi. Hanya bertahan sesaat, mimpi yang ia pikirkan perlahan kabur dari pikirannya.
Setelah memastikan nyawanya sudah benar-benar terkumpul, ia duduk, melemparkan pandangan ke sekeliling, bunga yang semalam menghiasi kasurnya sekarang bertaburan di sembarang tempat. Siapa yang akan membereskan semuanya?
Lagi, ia kembali menggeliat kemudian mengikat sembarang rambutnya. Jubah tidurnya yang sedikit menyingkap dari tempatnya, ia benarkan lebih dulu sebelum berdiri.
"Sayang?" sahutnya memanggil seseorang yang terakhir kali ia lihat sebelum ia terlelap semalam.
Tidak ada jawaban.
Langkahnya terayun mendekati pintu. Baru saja pintunya terbuka, seorang gadis masuk ke kamar dengan langkah tergesa-gesa.
"Hampir aja koper kita kebawa sama taksi, makanya kamu lain kali hati-hati, kan aku-" Kalimat gadis itu terhenti ketika melihat kamarnya berantakan, bunga dan pakaian berserakan. "Kayanya kita harus komplaine deh, kok berantakan? Gak bener nih."
"Kayanya kamu deh yang gak bener."
"Chika?"
Gadis pemilik kamar yang ternyata bernama Chika itu menoleh, menatap pada seseorang yang sedari tadi ia cari. Chika mengerucutkan bibir bawahnya, "Kak Vivi, dari mana?"
"Abis foto-foto," jawab gadis yang dipanggil Vivi itu sambil mengangkat sedikit kamera miliknya. Arah pandangnya kini fokus pada seorang gadis yang baru saja berbalik. Vivi menarik syal yang melingkar di lehernya lalu ia gunakan untuk menutupi dada Chika yang terbuka setengahnya.
"Kalian siapa?" tanya gadis itu.
"Justru aku yang nanya, kamu siapa?" Chika melipat kedua tangannya, menatap malas pada gadis yang sekarang malah melongo.
"Aku kayanya salah kamar deh." Tanpa sopan santun, gadis itu berjalan menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, gadis itu memandangi Chika dari atas sampai bawah dan berlalu pergi begitu saja.
"Orang aneh." Vivi menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menutup pintu. Vivi bersandar di pintu, melihat hasil jepretannya hingga ia baru sadar Chika tak berkedip sedikitpun. Vivi menjentikan jarinya di depan wajah Chika. "Kenapa ngelamun?"
"Aku kaya pernah ketemu dia deh tapi di mana ya?" Chika menatap Vivi dengan kepala miring, tampak sedang berpikir keras.
"Entahlah." Vivi yang sama sekali tidak peduli hanya mengangkat bahunya sambil melangkah dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Hasil jepretannya sangat baik, mungkin akan lebih baik jika ada Chika di dalamnya. Vivi tersenyum sendiri membayangkan kecantikan kekasihnya itu.
"Kamera terus," gumam Chika malas. Ia mengajak Vivi liburan ke Bali berharap Vivi akan menyudahi segala kesibukan dan fokus kepadanya. Namun, itu sama sekali tidak berpengaruh. Sudah dua hari ia di sini, kekasihnya itu tetap fokus pada jepretannya.
"Kenapa liatin aku gitu?" tanya Vivi tanpa berpaling dari kameranya.
"Kamu sadar aku liatin kamu tapi gak sadar kalo aku ada di samping kamu dari kemarin."
Vivi tidak menjawab, ia mengalihkan pandangan pada jam yang melingkar di lengannya, "Masih jam tujuh pagi, gak baik ribut," jawabnya tanpa menatap Chika sedikitpun. Chika tidak berubah, selalu mempermasalahkan hal kecil yang bahkan bukan masalah. Kenapa wanita sangat rumit? Vivi menggelengkan kepalanya tidak mengerti.
"Siapa yang ngajak ribut? Aku cuma pengen kamu liat aku." Chika menarik syal di lehernya, ia gulungkan lalu ia lemparkan tepat ke kamera Vivi, memblokir pandangan Vivi pada jepretannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)