11

7.2K 759 167
                                    

"Aku nanti malem ke rumah." Ara mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan agar bibirnya bisa ia daratkan tepat di pipi Fiony yang duduk di jok depan. "Kak Beby makasih yaa." Ara tersenyum sebelum akhirnya turun dari mobil Beby.

"Bawa martabak ya!" Fiony melambaikan tangannya.

"Gak ada duit!" Ara ikut melambaikan tangan sampai mobil Beby perlahan lenyap dari pandangannya.

Gerakan kaki Ara yang hendak melangkah jadi terhenti sejenak saat mendengar ponselnya berdering, ternyata pesan dari Chika, untuk apa Chika meminta lokasinya? Tanpa bertanya apapun pada Chika, Ara mengirimkan lokasi rumahnya lalu masuk.

Ara langsung masuk ke kamar, menyimpan tasnya di meja dan menghempaskan tubuhnya yang lelah di kasur. Ara memandang lurus pada langit-langit kamar, ia berpikir, ke mana ia harus mencari kerja saat ini? Tabungannya memang sisa banyak, tetapi ia ingin mengembalikannya pada Shania. Apa ia ambil beberapa juta sebelum memberikan kartunya pada Shania? Sepertinya ide baik. Ia akan mentransferkan sebagian tabungannya ke dompet elektroniknya sebelum nanti ia membuat ATM baru.

Helaan nafas lembut keluar dari bibir tipis Ara, Ara berguling ke samping, pandangannya langsung tertuju pada foto figuranya dengan Fiony yang terpampang cukup besar. Itu adalah foto yang mereka ambil saat masa SMA dulu, saat status Fiony masih sepenuhnya sahabat. Andai saja tidak ada cinta yang menyangkut di hati Fiony kepadanya, mungkin ia akan menjadi orang yang sangat bahagia karena memiliki sahabat dan tentunya, hubungannya dengan Mira akan bertahan lama.

Ara mengusap lembut kelopak matanya, berusaha menghilangkan bayangan seandainya semua itu terjadi. Menarik kata seandainya dalam bayangan hanya akan memberatkan hidupnya.

Hening, tidak ada suara apapun di rumah dingin ini selain suara degupan samar detak jantung Ara dan embusan nafasnya. Suasana yang sunyi serta rasa lelah yang masih merengkuh tubuh Ara, mengundang kantuknya. Mata Ara mulai tertutup, siap membuka gerbang mimpi karena hanya di dunia itulah ia punya kemungkinan untuk memiliki kebahagiaan yang penuh.

Kesialan adalah miliknya, itu yang selalu Ara ucapkan setiap hari, tanpa henti, kalimat itu mengundang beberapa hal tidak menyenangkan terjadi di hidupnya. Termasuk siang ini, ketika lelap nyaris membawanya ke alam mimpi, ia dikejutkan oleh suara ketukan pintu yang lebih terdengar seperti dobrakan.

"Siapa sih?!" Ara mengerang kesal sebelum akhirnya bangkit, membuka pintu kamar dengan kasar dan tidak perlu berjalan lebih jauh lagi, langkahnya sampai di depan pintu.

Dengan wajah penuh kekesalan, Ara membuka pintu, mendapati seorang gadis cantik yang sedang tersenyum kepadanya. Amarah Ara mengkerdil saat itu juga, bibir yang sudah siap mengeluarkan sumpah serapahnya kini malah membentuk sebuah senyuman manis. "Hai, kak Chika."

"Aku ganggu gak?" Chika sedikit merasa tidak enak karena mungkin saja ia mengganggu waktu istirahat Ara.

"Ngga kalo kamu buatin aku makan siang."

"Boleh." Chika melebarkan senyuman sambil memperhatikan teras rumah Ara lalu masuk setelah Ara mempersilahkannya. Rumahnya tidak begitu besar, hanya ada satu kamar besar, satu kamar kecil, ruang tamu yang hanya berukuran empat meter dan ruang tv yang sangat sederhana. Tidak mewah, tetapi sangat rapi dan bersih.

Chika berhenti tepat di depan figura foto Ara dan Fiony. Mereka sedang tersenyum lebar, salah satu fotonya tampak Fiony sedang mencium pipi Ara. Chika menarik perhatiannya pada foto lain, ada Shania, Fiony, Ara dan satu pria tua yang cukup tampan untuk usianya. Sudah dapat dipastikan itu adalah ayah kakak beradik itu. Pantas saja Shania dan Fiony cantik, ayahnya tampan.

Ara membuka kulkasnya, ia tidak menemukan makanan yang bisa diolah, isinya hanya botol berisi air putih. Bagaimana ini? Chika juga pasti lapar setelah perjalanan dari Bali. Ara tidak punya persediaan makanan apapun.

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang