7

7.2K 782 107
                                    

Menghabiskan waktu malam di tiga hari terakhir ini, mereka memutuskan untuk bakar-bakar, bakar ikan besar yang mereka dapatkan sebagai fasilitas pulau, bakar ikan kecil, lobster dan banyak lainnya. Untung saja tidak ada yang alergi seafood, jadi semua bisa menikmati hidangan yang mereka buat sendiri.

"Ikan, ikan apa yang membahagiakan?" tanya Shani bertepuk tangan.

"Ikan sangean," jawab Lidya asal sambil mengipas-ngipas ikan bakarnya. Lidya sedikit meringis saat tiba-tiba saja kakinya diinjak oleh Viny.

"Ikan beranak mertua." Kali ini Kinal yang menjawab.

"Salah, jawabannya adalah, iiiiikan aku mencintai kakak aku." Shani tiba-tiba saja memeluk Viny dari belakang.

"Nal, ada kresek gak sih? Pengen muntah gue." Lidya mengusap tenggorokannya.

"Au nih gue tiba-tiba pengen boker, ke belakang dulu ye." Kinal mengusap perutnya dan benar-benar melenggang ke belakang, berjalan menuju toilet.

"Jahat banget mereka, kakak." Shani menyandarkan dahinya di punggung Viny.

"Tidak semua suara pantas didengar, tidak semua yang kita didengar pantas dipikirkan. Kita tidak bisa menahan telinga kita untuk mendengar sesuatu, tapi kita bisa mengendalikan otak kita untuk tidak memikirkannya." Viny menggenggam erat tangan Shani yang melingkar di perutnya. "Kamu tau gak apa yang harus kamu dengar?"

"Apa, kakak?"

"Pergerakan jantung aku karna dia tidak pernah berhenti mendetakan nama kamu dan menyebutnya sebagai cinta yang harus aku genggam selamanya."

Vivi langsung berbalik membelakangi semua masakan yang sudah jadi lalu bersin cukup keras. Vivi mengusap telinganya yang sangat gatal. Ia bertepuk tangan, tetapi langsung sadar tidak ada pelayannya di sini.

"Aku sayang kakak, aku sayang kakak, aku sayang kakak." Shani mengeratkan pelukannya pada Viny, senyuman manis terlukis di wajahnya yang cantik. Entah kenapa setiap kali Viny berbicara, ia selalu mendapatkan satu alasan untuk bahagia.

Veranda memberikan tissu pada Vivi. Vivi mengambil tissu itu untuk mengelap hidungnya yang entah kenapa malah semakin gatal. Sekali lagi, ia bersin cukup keras dan memutuskan untuk berjalan pergi.

"Lah ke mana, kak?" tanya Azizi yang kebetulan berpapasan dengan Vivi di pintu masuk.

"Ke toilet," jawab Vivi tanpa menghentikan langkahnya. Seharusnya ia memang berdiri sedikit jauh dari pasangan itu, setidaknya sampai memastikan percakapan mereka tidak mendarat di telinganya.

"Biar aku aja." Ara mengambil kipas yang baru saja Chika genggam. "Kamu tunggu di belakang, banyak asep." Ara mengibas-ngibaskan asap di depan muka Chika agar tidak begitu tercium oleh Chika, meski sebenarnya sia-sia.

"Aku mau di sinilah." Chika menggeleng.

"Baiklah." Ara membiarkan gadis itu berdiri di sampingnya dan ia mulai mengipas kepiting pesanan Chika. Ara sendiri tidak terlalu suka kepiting, jadi sepertinya ia tak mau mencicipi binatang yang dagingnya hanya sedikit itu. "Sesuka apa kamu sama kepiting?"

"Ya suka aja, entah sebesar apa kadarnya, gak semua hal harus ada ukuran tertentunya 'kan?" Chika menyalipkan anak rambut yang menghalangi pandangannya.

Ara menarik ikatan rambutnya kemudian ia berikan pada Chika, "Poni aku kayanya gak serese poni kamu."

Chika tertawa kecil sambil mengambil ikatan rambut itu lalu menguncir rambutnya sembarang. Chika melipat kedua tangannya di depan dada dan kembali memandang pada kepitingnya. Tak lama, ia menatap Ara yang entah sejak kapan sudah memperhatikannya. Kedua bibirnya otomatis tertarik, membentuk senyuman yang sangat manis.

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang