"Ada kak Chika."
"Oh ya?" Fiony melepaskan pelukannya kemudian tersenyum. "Seru dong? Mana kak Chika?" Fiony masuk ke rumah sebelum dipersilahkan, ia berjalan melewati ruang tamu, ruang TV dan masuk ke kamar Ara, tidak ada siapapun di sini. "Mana kak Chika?"
"Hai," sapa Chika baru keluar dari kamar tamu di rumah ini. Tadi ia sempat mendengar suara Fiony, jadi ia segera memindahkan semua barangnya ke kamar tamu karena tidak mungkin ia tidur di kamar Ara bersama Fiony.
"Hai kak Chika." Fiony mengulas senyuman lebarnya meski setelahnya tertahan saat sadar, mata Chika merah. Fiony menatap Ara yang baru saja datang. Ara mengedipkan kedua matanya perlahan, seakan mengatakan bahwa ia akan menceritakannya nanti. Fiony mengangguk paham dan kembali menatap Chika. "Udah makan, kak? Ara masak apa?"
"Nanti aku yang masak." Chika mengusap kelopak matanya yang terasa cukup perih.
"Eh gapapa aku aja." Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Fiony menawarkan diri.
"Aku udah masak kok tinggal nerusin." Chika menggeleng panik dan buru-buru berjalan ke arah dapur sebelum Fiony mendahului. Meski hidupnya membosankan, Chika belum siap mati sekarang.
"Eh kak-"
"-Biarin aja." Ara menggenggam tangan Fiony, menahan pergerakan kakinya yang hendak mengejar Chika. "Ayo." Ara menuntun Fiony masuk ke kamar lalu menutup pintunya. "Gak jadi ke Wina?"
"Kak Vivi gak enak badan," jawab Fiony berbohong, tidak mungkin ia mengatakan penerbangan dibatalkan karena ada Mira. Ia tidak akan pernah membiarkan Ara bertemu Mira.
Ara mengangguk, mengambil tas yang berada dalam gendongan Fiony dan menyimpannya di meja. Ara menghela napas lalu menunduk dengan mata terpejam, apa yang ingin ia lakukan tadi? Hendak mencium bibir seseorang yang bukan kekasihnya. Ara sudah berjanji tidak akan mengkhianati Fiony, tetapi kenapa dadanya mendetakan nama orang lain?
"Ara, baik-baik aja?"
Ara sedikit terkesiap saat merasakan sepasang tangan yang melingkar erat di perutnya, ia masih memejamkan mata, berusaha menemukan detakan yang ia rasakan saat Chika menyentuhnya. Namun, nihil. Tidak ada getaran apapun, tidak ada kenyamanan yang meresap ke dadanya, tidak ada apapun yang membuatnya gugup, semuanya hambar seperti biasa.
Apa sebenarnya yang membuat hatinya begitu enggan menyebut nama Fiony? Kurang sempurna apa gadis yang kini memeluknya? Kurang baik apa? Ara mengepalkan tangannya, mendakwa dirinya sendiri yang tidak pernah mampu mencintai orang yang selama ini sudah begitu baik kepadanya.
"Sayang?" Fiony menenggelamkan wajahnya di leher Ara. "Kamu kenapa?"
"Aku gapapa." Ara membuka mata, berbalik menghadap Fiony lalu menangkupkan sepasang tangannya di pipi Fiony. "Kamu cantik hari ini," pujinya seraya menyalipkan anak rambut ke belakang telinga Fiony agar ia bisa melihat wajah cantik kekasihnya lebih jelas lagi.
"Ya selalu begitu." Fiony tersenyum.
"Udah minum obat? Obat kamu dibawa?" Ara menghempaskan kembali tangannya untuk memeriksa tas Fiony. "Kenapa sempak disimpen paling atas sih? Aturan tuh paling bawah."
"Bahasanya ih." Fiony mendorong pelan punggung Ara, kekasihnya itu malah tertawa kecil. "Celana dalem."
"Yaelah sama-sama jeroan juga." Ara mengeluarkan satu persatu celana dalam Fiony dan menemukan branya. "Widih kacamata gunung semeru nih."
"Sembarangan banget sih, sini ah." Fiony merebut bra miliknya dan ia lipat rapi. Lisan kekasihnya itu selalu minta dibersihkan.
"Nah ini dia." Ara menemukan obat Fiony. "Minum obat ya? Ayo." Ara menuntun Fiony keluar, berjalan ke arah dapurnya. "Kak, masak apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)