"Makan sekali lagi ya?" Ara menyuapkan satu sendok bubur pada Fiony seraya tersenyum karena Fiony mau menghabiskannya. Ia memberikan segelas air putih pada Fiony lalu ia ambil setelah Fiony meminumnya.
"Makasih ya." Fiony menggenggam tangan Ara, ia sangat bahagia sekarang karena akhirnya Ara tidak jadi meninggalkannya, nyaris saja kegelapan panjang bernaung di hidupnya. Fiony mengangkat tangan Ara dan ia simpan di pipinya, "Ara, jangan tinggalin aku ya?"
Ara menatap kedua mata Fiony dan memaksakan senyumannya meski rasanya sangat berat. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah mampu mencintai Fiony. Jadi, ia harus rela jika selamanya ia tidak pernah merasakan apa itu bahagia. Ara mengusap pipi Fiony lalu mendekatkan wajahnya sampai tidak lama, ia bisa merasakan bibirnya mendarat di bibir Fiony.
Untuk beberapa saat Ara diam, berusaha menahan kepalanya agar tidak buru-buru menjauh, ia harus berusaha untuk tenang dan menikmati ciuman ini. Ara merangkul pinggang Fiony lalu memiringkan kepalanya dan memperdalam ciuman itu. Bagaimanapun juga, mulai sekarang ia harus terbiasa dengan ini atau mungkin melakukan sesuatu yang lebih dari ini.
Sekarang tidak terkira seberapa bahagianya Fiony karena akhirnya, Ara mau menciumnya lebih dulu tanpa paksaan apapun. Ara sudah mau menciumnya, apa itu artinya Ara sudah mulai mencintainya? Fiony benar-benar sangat bahagia.
"Kita pamit dulu ya ke-" Chika menggantungkan kalimatnya ketika melihat mereka berciuman, untuk kedua kalinya di depan matanya. Ada hentakan keras di dadanya, menyebarkan rasa sakit yang begitu luar biasa. Chika mengerjap lalu menatap Vivi, "Aku duluan ya?"
Tanpa merasa curiga sedikitpun, Vivi mengangguk, membiarkan Chika keluar lebih dulu sebelum ia masuk ke ruangan Fiony. "Eh lanjut aja gapapa," ucap Vivi tersenyum melihat mereka melepaskan ciumannya.
"Aku ke luar dulu bentar ya?" Ara mengusap bibir Fiony, menyeka jejak lipstiknya di sana lalu berjalan keluar.
"Cieee." Vivi duduk di samping Fiony dan sedikit meringis ketika Fiony memukul bahunya.
"Jangan cie cie aku kan malu." Fiony mengembungkan pipinya kesal sebelum akhirnya tersenyum bahagia dan reflek memeluk Vivi. "Aku seneng banget, kak. Dia udah mau cium aku." Fiony memeluk begitu erat sampai Vivi sedikit kesulitan bernafas.
"A-aku ikut seneng." Vivi terbantuk-batuk karena kencangnya pelukan Fiony.
Fiony sadar itu dan memilih untuk melepaskan pelukannya, "Ara udah mulai cinta sama aku, kak," ucapnya sangat percaya.
Vivi mengangguk, mengusap puncak kepala Fiony dengan senyuman tipisnya. Entah kenapa ia merasa Fiony salah, Ara belum mencintainya, Ara melakukan itu hanya untuk meyakinkannya. Jika ada seseorang yang mampu Fiony cintai selain Ara, sudah pasti Vivi akan lebih mendukungnya daripada Fiony menjalin hubungan dengan seseorang yang hatinya untuk orang lain. Kebahagiaan yang berasal dari kepalsuan sudah pasti fana sifatnya.
Chika bersandar lemas di dinding, air matanya menetes, ia memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya sendiri, setidaknya air matanya tidak tumpah di sini.
"Sakit?" Ara melipat kedua tangannya di depan dada tanpa melihat ke arah Chika. Bukan salahnya jika Chika datang tepat saat ia berciuman dengan Fiony. Ara tidak berniat melukai hati Chika.
Chika menghapus air matanya dengan cepat lalu membuka mata, mendapati Ara yang sudah berdiri di sana. Chika mengeluarkan nafas panjang dan mulai beranjak sebelum Ara menarik tangannya kemudian mendorong tubuhnya sampai tersudut di tembok. Ia memandang takut pada kedua mata Ara yang menatapnya tajam. Chika berniat untuk beranjak, tetapi lagi-lagi tubuhnya didorong Ara.
"Kamu ngapain sih?" Chika berusaha melepaskan tangan Ara yang mencengkram kuat pergelangan tangannya.
"Puas kamu jauhin aku? Udah puas siksa aku?" Ara masih mencengkram lengan Chika begitu kuat sampai urat lehernya terlihat, wajahnya memerah saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)