9

7.5K 732 148
                                    

"Aku mau bicara sama kak Ve bentar."

"Minta tolong beresin punya aku ya, Ve." Kinal berjalan keluar dari kamar lalu berhenti sejenak saat mendengar suara pintu di kunci. Seserius apa pembicaraan mereka? Kinal melangkah mundur, berniat untuk menguping sebelum akhirnya menggeleng, sadar bahwa tidak semua hal tentang kekasihnya berhak ia ketahui. Ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya.

"Kenapa?" tanya Veranda tanpa menatap Shani. Perhatiannya kini fokus pada pakaian Kinal yang sedang ia rapikan ke kopernya.

"Kenapa identitas Vivi bisa kebongkar?"

Veranda menghentikan pergerakan tangannya kemudian menatap Shani dan menggeleng, "Aku gak tau."

"Kak Beby sama kak Viny sadar sesuatu, kak. Mereka selalu saling lempar kode yang aku tau apa artinya, ada satu hal yang mereka ketahui dan itu semakin bertambah."

Dahi Veranda mengerut bingung karena ia sama sekali tidak menyadari kode yang mereka lemparkan satu sama lain. Veranda memperhatikan wajah adiknya itu, apa Shani serius? Atau sedang main-main seperti biasanya?

"Jangan pernah meremehkan ketajaman aku dalam membaca situasi atau pergerakan orang lain." Shani mengangkat telunjuknya ke arah Veranda.

Veranda menepis lembut tangan Shani, "Apa yang lagi berusaha mereka cari tau?"

"Kebahagiaan Chika, hubungan keluarga kita sama Vivi dan hubungan Chika Ara. Kamu tau kak Viny sayang banget sama Chika? Dia gak mungkin secuek pacar kamu." Shani mengusap kelopak matanya bingung, ia hanya takut jika harus terus menerus bohong pada Viny untuk menyembunyikan segalanya.

"Apa yang Viny khawatirkan dari Chika? Adik kita bahagia, kamu jangan khawatir." Veranda menepuk bahu Shani.

"Dia gak bahagia. Dia adalah satu-satunya orang yang dahaganya paling panjang sekalipun seluruh dunia menyuguhkan dia banyak air." Shani mengembuskan napas panjang kemudian duduk di kasur.

"Kalo dia gak bahagia, dia gak akan mau disentuh sama Vivi."

"Aku bahagia meski tanpa disentuh, kamu tau itu." Shani menatap Veranda sejenak lalu membuang pandangannya dengan delikan yang tidak biasa. "Tolak ukurnya tidak sesederhana itu."

"Chika hanya terlalu banyak tuntutan, padahal segalanya sudah dia dapatkan, dia selalu diperlakukan seperti seorang putri kerajaan, tapi hatinya tidak pernah mendapat kepuasaan."

"Iya karna semua yang dia dapatkan berlawanan dari apa yang dia inginkan, makanya yang muncul adalah ketidakpuasan. Kamu tau apa satu-satunya hal yang tidak bisa dipaksakan? Perasaan dan kebahagiaan."

"Aku kakak dia, aku juga pengen dia bahagia, tapi aku bisa apa? Meski aku kakak tertua, aku gak punya kuasa."

Shani mengusap wajahnya dan menenggelamkannya di kedua tangannya. Benar apa yang Veranda bicarakan, dia tidak punya kuasa apapun sekarang, keluarganya benar-benar sudah di bawah kendali keluarga Xankar. Shani sebenarnya bahagia, tetapi bagaimana ia bisa tenang mengetahui adiknya tidak benar-benar bahagia?

Veranda mengembuskan napas panjang lalu duduk berlutut di depan Shani, "Apa ini udah saatnya aku-"

"-Ngga." Shani menggeleng. "Aku gak mau. Aku akan cari jalan keluarnya." Shani mengusap punggung tangan Veranda seraya tersenyum tipis, meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.

"Anjing," pekik Lidya ketika sebuah botol mendarat di kepalanya. Ia menoleh, mendapati Viny yang sedang menatapnya kesal. "Ngape nih pagi-pagi nimpuk orang?"

"Sialan lu gue gak bisa tidur semaleman karna ganti-ganti kamar." Viny mendelik tajam pada Lidya kemudian menatap Kinal yang baru saja datang. "Lu juga sialan."

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang