21

6.8K 782 286
                                    

Chika menatap Ara yang terlihat sangat bersunggung-sungguh dengan ucapannya. Chika mengusap pipi Ara dan hendak mengangguk sebelum bayangan tentang kematian Gita hadir di benaknya. Ia masih bisa ingat bagaimana darah Gita mengalir cukup deras, jika ia menerima Ara, itu yang akan terjadi pada Ara. Chika tiba-tiba saja mundur sambil menggeleng.

"Chik-" Ara berusaha menggenggam tangan Chika, tetapi Chika langsung menepisnya dengan kasar. "Chika," serunya sekali lagi.

"A-aku gak bisa, Ra, lupain aku." Chika terus mundur sampai akhirnya ia berbalik dan berlari cepat meninggalkan Ara yang termangu.

Ara mengusap wajahnya, berusaha menjernihkan pandangannya yang sedikit tertutupi air hujan. Ia bisa melihat punggung Chika yang kian berlalu pergi meninggalkannya. Ara menunduk, apa yang terjadi dengan Chika? Kenapa gadis itu menolaknya? Apa Chika tidak bersungguh-sungguh mencintainya? Air mata Ara menetes saat itu juga.

Ternyata cinta selucu ini, dikejar malah berlari pergi meninggalkannya. Ara menadahkan kepala ke langit, membiarkan air hujan menerpa wajahnya. Sudah lebih dari tiga tahun ia mendambakan cahaya hadir di hidupnya, setelah sinar itu datang, kenapa dipaksa redup? Apa kesalahannya sampai ia merasakan ketidakadilan sebesar ini? Dari kecil, mentari tidak pernah ditakdirkan bersinar untuknya.

Seperti pejuang yang kalah dalam medan pertempuran, Ara berjalan lemas dengan kepala tertunduk, malam ini, ia benar-benar membawa kekalahan terbesar dalam hidupnya.

"Ada apa?" tanya Veranda setelah menemui Vivi yang menunggunya di salah satu ruangan gedung ini. "Jangan bikin orang curiga." Veranda mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya lalu menutup pintu.

"Kenapa kamu gak pernah cerita kalo Chika bukan anak kandung Armagan?" Vivi melingkarkan sepasang tangannya di belakang pinggang, melihat wajah Veranda yang tampak sangat terkejut. Vivi berdecih samar, "Jadi itu alasan kamu bisa dengan mudah melepaskan dia buat aku demi harta?"

"Jangan bahas soal harta deh, kita saling menguntungkan. Kamu mau harta kamu kembali? Jangan pernah nemuin Chika lagi."

Vivi emosi, ia menarik tangan Veranda dan mencengkramnya erat, "Jangan pernah berani bermain sama aku atau-"

"-Atau apa?!" Veranda menepis tangan Vivi, kali ini ia berani menatap Vivi dengan sangat tajam. "Di surat perjanjian tertulis kamu akan membahagiakan dia terus apa? Dia gak bahagia."

"Dia bahagia!" Vivi meninggikan suaranya, tidak terima dengan ucapan Veranda yang seakan tengah merendahkan semua usaha kerasnya selama ini untuk membahagiakan Chika.

"Oh ya? Buka mata kamu, Vivi." Veranda mendelik tajam pada Vivi sebelum melangkah. Namun, tak lama Veranda berhenti sejenak dan berkata, "Pastikan dia bahagia atau aku akan membawa semua adik aku pergi jauh dari kamu."

"Gak ada tempat di dunia ini yang gak mampu aku jangkau."

"Ada, kamu gak akan pernah tau." Veranda membuka pintu, menutupnya kembali dengan bantingan yang sangat keras lalu berjalan cepat. Veranda mengusap wajahnya frustrasi, dari mana Vivi mengetahui bahwa Chika bukan adik kandungnya? Bagaimana jika Chika tau? Ini akan jadi masalah dan mimpi buruk terbesar bagi Veranda.

Vivi mengerang emosi reflek memukul dinding begitu keras, jika Veranda berani pergi setelah semua yang ia berikan, ia berjanji akan membunuh gadis itu dengan tangannya sendiri. Vivi menutup mata, berusaha meredam emosinya sendiri sebelum berjalan keluar.

"Aku pulang duluan."

Viny menahan tangan Chika, memperhatikan pipinya yang memerah, begitupun dengan matanya. Viny mengusap lembut pipi Chika, sekarang ia sudah berani menyimpulkan jika Chika benar-benar mencintai Ara.

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang