Satu minggu berlalu sejak Ara dan Vivi dirawat di hari yang sama, Vivi sudah diizinkan keluar dari rumah sakit tiga hari lalu, sementara Ara baru diizinkan pulang hari ini.
Ara berdiri di depan cermin, memakai jaketnya dan memastikan bahwa dirinya sudah terlihat baik-baik saja. Ara tersenyum, "Keren juga lo, Ra," ucapnya memuji. Ia tidak pernah melihat perempuan sekeren perempuan yang ia lihat di cermin itu.
Ara menaikan kerah jaketnya lalu menoleh pada seorang gadis yang baru saja masuk ke ruangan, "Hai."
"Hai."
"Tulang aku masih sakit kalo bergerak lama, lumayan juga ternyata pukulan orang-orang bodoh itu." Ara duduk kembali di kasur, menunggu Fiony dan Shania datang membawa surat kepulangannya hari ini. "Mira, sini sini." Ara menepuk kasur, menyuruh Mira duduk di sana.
Mira mengangguk, duduk di samping Ara dengan kepala tertunduk, entah kenapa jantungnya masih berdebar saat ia dekat Ara, padahal ia yakin, hati Ara sudah bukan untuknya.
"Kenapa nunduk? Sini liat aku." Ara mengangkat dagu Mira agar menatap kepadanya. "Aku selalu cari kamu selama ini, semarah itu kamu sama aku?" Ara mengusap pipi Mira sampai tak lama ia sadar dan buru-buru menghempaskan tangannya.
"Aku gak bisa baik-baik aja setelah kamu putusin aku gitu aja." Mira menghela nafas, membuang pandangannya dari Ara. "Aku mengenggamkan banyak harap tentang kebahagiaan aku di tangan kamu, tapi kamu remukan gitu aja sampai tidak tersisa sedikitpun harapan aku."
"Aku masih cinta sama kamu saat itu-"
"-Sekarang?" Mira kembali menatap Ara. Jika Ara masih mencintainya, sekali lagi ia akan berjuang tanpa peduli siapa yang ia hadapi.
Ara tidak menjawab, tentu saja, hatinya bukan untuk Mira sekarang, ada perempuan asing yang tiba-tiba saja datang dan duduk hatinya, tidak memberikan ruang pada siapapun untuk duduk di sana.
Mira mengangguk saat mengetahui jawabannya, harapannya musnah, perjuangannya ia urungkan. Sekali lagi, Mira mengeluarkan nafas seiring dengan pandangannya yang bergerak lurus ke depan. Tidak peduli seberapa besar rasa cintanya pada Ara, jika hati Ara sudah tidak menyisakan tempat untuknya, berjuang hanya akan jadi sesuatu yang sia-sia.
"Aku minta maaf atas rasa sakit yang pernah aku kasih ke kamu, aku gak akan bikin pembelaan apapun karna itu memang salah aku, tapi asal kamu tau, aku juga ngerasain sakit yang sama saat itu." Dahi Ara mengernyit, membayangkan bagaimana gelapnya hari-hari yang ia lewati setelah kepergian Mira. Pelanginya dicengkram kelam, ia sampai lupa bagimana cara mendeskripsikan indahnya warna.
Mira tidak menjawab, ia hanya diam, mengerti sesakit apa Ara karena ia merasakan hal yang sama, dipaksa melepas saat hati masih mencinta.
"Fiony sakit, setelah apa yang keluarganya kasih ke aku, aku gak bisa tinggalin dia." Ara menyentuh punggung tangan Mira, Mira sempat menggerakan tangannya untuk menjauh, tetapi Ara menggenggamnya erat. "Kita bisa bersahabat 'kan? Jangan hilang lagi."
Mira menatap Ara, melihat kedua matanya sedikit berkaca, apa jawaban yang harus ia berikan? Mira bisa saja berteman dengan Ara, hanya saja, apa hatinya bisa menerima saat raganya dekat dengan Ara, tetapi hati Ara sudah bukan miliknya?
"Bisa 'kan? Rumah aku gak pindah, aku harap nanti malam kamu datang ya." Ara melepaskan genggamannya dan menarik tubuh Mira ke dalam pelukannya. Ara memejamkan mata, mengeratkan pelukan itu. Rindu yang selama ini ia simpan sedikit demi sedikit terangkat.
Dengan tangan bergetar ragu, Mira membalas pelukan Ara. Mira mengantup mata, rindu itu akhirnya pulang ke rumahnya, pada pelukan ini. Mira mengusap kepala belakang Ara, "Iya, kamu sahabat aku mulai sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)