16

7.8K 772 340
                                    

Mentari terbit dengan cahayanya yang berkuasa, tetapi sinarnya tidak berhasil jatuh pada sebuah ruangan rumah sakit tempat Ara dan Vivi dirawat. Ruangan tidak gelap, tidak juga remang redup, hanya sinarnya tidak mampu menerangi gelapnya hati tiga orang gadis cantik yang sedari tadi menangis.

Ara pingsan karena banyak pukulan yang mendarat di tubuhnya, begitu juga Vivi, Vivi ambruk setelah menembakan pistol itu ke arah tembok untuk melampiaskan emosi yang mencengkram kuat perasaannya saat itu.

"Siapa yang kamu tangisi?" tanya Fiony pada Mira yang bersandar pada tembok dengan mata terpejam.

"Siapa kamu berani mempertanyakan alasan dari jatuhnya air mata aku?" Mira membuka mata, menatap Fiony sedikit sinis lalu mendelik tajam. Saat keadaan sedang genting seperti ini, masih saja Fiony memikirkan itu.

Chika menggenggam punggung tangan Fiony ketika Fiony hendak mengatakan sesuatu, Chika mengedipkan mata, memberi isyarat agar Fiony tidak mengatakan apapun dan membuat suasana semakin runyam. Chika mengembuskan napas panjang, mengusap wajah lelahnya sekilas lalu memandangi Vivi dan Ara yang masih belum sadarkan diri.

Andai saja Ara menurut, andai saja Ara tidak keras kepala, semua ini tidak akan terjadi. Chika mengepalkan tangan, membiarkan air matanya kembali menetes. Ini baru awal, bagaimana nanti? Jika pada akhirnya ia tidak mampu lagi menahan perasaaannya, tidak mampu menahan keegoisannya untuk bisa memiliki Ara sepenuhnya. Rasa sakit yang Ara derita pasti jauh lebih besar dari ini.

Tangan Ara tiba-tiba saja bergerak, Ara menggeliat pelan dan mengerang kecil. Mendengar itu, Chika, Fiony dan Mira langsung berjalan mendekati Ara.

"Chi-chika," gumam Ara dalam pejamnya. "Chika."

"Aku di sini." Chika menggenggam erat tangan Ara.

Fiony membeku mendengar Ara terus menyebutkan nama Chika dan melihat bagaimana tangan Chika menggenggam Ara begitu erat. Fiony menelan ludahnya, apa artinya ini? Kenapa Ara bukan menyebutkan namanya? Kenapa harus nama Chika? Apa yang ada di pikiran Ara saat ini sampai nama Chika yang keluar dari bibirnya?

Mira sama terkejutnya, kenapa harus Chika? Mira tidak berharap sama sekali Ara menyebutkan namanya, tetapi kenapa bukan Fiony? Mira menatap Fiony yang masih memandang nanar ke arah mereka, ada luka dalam tatapannya, ada kesedihan di matanya. Ia tidak mengerti sama sekali apa yang terjadi pada mereka, tentang Vivi yang meniduri Fiony dan Ara yang menyebutkan nama Chika. Ini semua membuat kepalanya berdenyut pusing.

"Kak Chika."

"Aku di sini, Ara." Chika mengangkat tangan Ara, hendak menciumnya, tetapi langsung saja ia urungkan saat ingat ada Fiony di sini. Chika mengerjap, menggenggam tangan Ara lebih erat lagi. "Buka mata kamu."

Ara membuka kelopak matanya perlahan, pandangannya langsung tertuju pada Chika, lalu beralih pada Mira dan terakhir pada Fiony. Ara tersenyum, "Aku udah di surga? Kok banyak bidadari?"

"Nyebelin banget sih." Fiony menghentakan kakinya kesal dan langsung memeluk Ara. Tangisannya pecah saat itu juga. Kekhawatiran yang sedari tadi ia rasakan akhirnya terangkat setelah mata Ara terbuka.

Ara mengusap punggung Fiony, berusaha menenangkannya. Melihat itu, Chika melepaskan genggamannya pada tangan Ara yang lain dan hendak beranjak sebelum tangan Ara kembali menggenggamnya. Ara menatap Chika, melihat matanya yang berkaca-kaca, ia menggeleng, seakan mengatakan bahwa Chika tidak boleh menangis karena ia baik-baik saja.

Chika membuang wajahnya ke arah lain, sekali lagi, ia membiarkan air matanya jatuh menetes, percuma, ia tidak akan bisa menahannya. Bagaimana Ara bisa tenang setelah kejadian semalam? Dada Chika bahkan masih bergetar saat ingat bagaimana tatapan tajam Vivi semalam.

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang