"Iya, aku Ara."
Vivi menunduk sejenak, berusaha mengumpulkan logikanya, tetapi nihil. Melihat tatapan Fiony, wajahnya yang cantik, juga senyumannya yang manis benar-benar tidak bisa membuat akal sehatnya bertahan lama. Vivi mengangkat kepala, merangkul pinggang Fiony dan langsung menyambar bibirnya.
Vivi mendorong lembut tubuh Fiony sampai berbaring di kasur kemudian menindihnya. Vivi mengusap pipi Fiony sebentar sebelum memejamkan mata dan kembali mencium bibirnya.
Tak lama dari sana, ciuman Vivi turun, bergerak menuju lehernya, Vivi mengecup setiap sudut leher jenjang Fiony yang putih. Tangannya bergerak, mengusap dada Fiony perlahan hingga desahan lembut lolos dari bibirnya. Mendengar itu, akal sehat semakin berlari meninggalkan Vivi yang sekarang sudah terbakar nafsu birahi.
Vivi membuka kancing kemeja Fiony, menurunkan ciumannya ke dada Fiony, ia menghisap kulit dada Fiony, tangannya yang lain berpindah pada dada satunya. Vivi yang sangat bernafsu tanpa sadar meninggalkan bercak merah di sana. Ia tidak peduli dan malah memindahkan ciumannya pada puncak dada Fiony.
"Aaahhhhh Araaaa." Fiony meremas kepala belakang Vivi.
Vivi berhenti saat nama itu disebut, ia seakan disadarkan bahwa Fiony adalah milik orang lain. Vivi menampar pipinya sendiri dan menggeleng, sebelum akhirnya bangkit, merapikan kembali kemeja Fiony.
"Ara, kamu mau ke mana?" Fiony menatap Vivi yang bergerak meninggalkannya.
Vivi masuk ke kamar mandi, mencari nomor Chika dengan tangan bergetar hebat karena nafsunya yang ia gantung sendiri. Tidak membutuhkan waktu lama, Chika mengangkat panggilannya.
"Iya, kak?"
"Tolong suruh Ara ke sini, Fiony mabuk parah, dia mukulin orang jadi aku terpaksa kasih dia obat. Aku udah pesenin kamar jadi Ara tinggal bawa pakaiannya."
"Ya udah aku ke sana, kirim lokasinya ya?" Chika mematikan panggilan dan langsung menatap Ara yang terlihat panik. "Fio mabuk parah sampe mukulin orang, dia dikasih obat biar tenang, mungkin bius, kamu disuruh ke sana bawa pakaian."
Ara menghentakan kakinya dan segera meloncat, mengambil tasnya kemudian memasukan pakaian Fiony dengan sembarang. Tidak biasanya Fiony mabuk parah sampai melakukan hal bodoh. Apa yang ada di pikiran Fiony sekarang? Bagaimana jika penyakitnya kambuh? Ara meraih obat Fiony sebelum berjalan keluar dari kamar diikuti oleh Chika.
Tidak membutuhkan waktu lama, taksi yang Chika dan Ara tumpangi berhenti di depan sebuah club malam. Ara menggenggam tangan Chika tepat saat langkahnya sampai ke dalam karena takut ada yang mengganggu Chika.
Chika memandangi tangannya yang digenggam begitu erat, senyumannya terukir begitu saja, kenapa ia merasa sangat terjaga berada di samping Ara? Padahal ini hanya perkara sederhana.
"Di atas ya?" Ara menuntun Chika naik ke atas dan tak sengaja menatap wajah Chika. "Kenapa senyum? Makin jelek tau gak."
"Nyebelin banget sih." Chika menepis genggaman tangan Ara.
"Dih emang jelek." Ara berjalan lebih dulu setelah memastikan suasana sudah sepi dan tidak akan ada yang mengganggu Chika. "Ini ya?" Ara mengetuk pintu kamar.
Vivi membuka pintu kamar, membiarkan Ara masuk. Ia menatap Chika, memandangi wajahnya cukup lama. Apa yang baru saja akan ia lakukan? Mengkhianati gadis yang sudah ia incar bertahun-tahun. Tanpa berbicara apapun, Vivi langsung memeluk Chika.
Chika mengernyit bingung, kenapa tiba-tiba Vivi memeluknya? Chika membalas pelukan itu, apa Vivi merindukannya? Padahal hanya satu jam kurang mereka tidak bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)