"Aku gak tau, Fio! Bukan aku yang bunuh dia!" Sergah Vivi menepis kasar tangan Fiony di bahunya. Vivi mengembuskan nafas panjang seraya melempar pandangan pada jam dinding yang menunjukan pukul dua belas malam.
Fiony mengusap air matanya lalu menggeleng tidak percaya. Namun, bibirnya memilih untuk bungkam. Tidak berniat bicara lagi daripada membuat masalah semakin runyam. Fiony menghempaskan tubuhnya di kasur, mengusap kasar wajahnya. Jika Vivi benar-benar membunuh Dey karena apa yang ia katakan, ia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Fiony sadar dirinya bukan orang baik, tetapi ia tidak ingin sejahat orang yang menjadi penyebab dari kematian orang lain, apalagi orang itu tidak bersalah.
Vivi bergerak mendekati jendela, membuka gordennya, melihat mobil Chika yang dikendarai Ara masuk melewati gerbang rumahnya, hanya sendiri karena mungkin Mira memilih menetap lebih lama lagi di rumah Dey. Vivi menunduk ketika merasakan sepasang tangan melingkar di perutnya, ia bergeming, mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela.
"Jangan marah." Fiony menyandarkan dagunya di bahu Vivi. "Aku cuma takut kamu dipenjara, aku gak punya temen lain selain kamu."
"Gak akan ada yang mampu penjarain aku, kamu tenang aja." Vivi menggenggam erat tangan Fiony di perutnya. "Kita lupain soal Dey, ya? Mungkin dia udah ditakdirin meninggal, yang penting sekarang kamu bisa memiliki Ara kembali seutuhnya. Jangan sedih lagi."
Fiony tersenyum getir, tidak mungkin ia bisa kembali memiliki Ara seutuhnya jika saingannya adalah seorang Yessica. Fiony menenggelamkan kepalanya yang berdenyut hebat di bahu Vivi, matanya terpejam, pikirannya melayang jauh. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Merelakan Ara bersama Chika? Tidak, ia tak mungkin bisa jauh dari Ara, ia tak mungkin mau merelakan orang yang sangat ia cintai jatuh ke tangan orang lain. Fiony akan terus memastikan Ara tetap ada di sampingnya apapun keadaannya.
"Fio, aku merasa Chika semakin berubah." Dahi Vivi mengernyit bingung setiap kali ia memikirkan Chika. "Udah gak ada lagi ciuman, udah gak pernah lagi paksa aku untuk perhatiin dia, udah banyak perubahan." Vivi menggigit bibir bawahnya, entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa sangat resah. "Kamu tau kenapa?
Fiony mengeratkan pelukannya, tentu saja ia mengetahui apa alasan dari perubahan Chika. Gadis itu mencintai orang lain, mencintai kekasihnya. Jika ini adalah sebuah film action, ia pasti sudah melenyapkan Chika, tetapi mana tega? Fiony membunuh semut saja tidak sanggup apalagi membunuh seorang manusia. Untuk saat ini, ia memilih pasrah, membiarkan Ara menduakannya sampai ia menemukan alasan untuk mengambil kembali seluruh hati Ara.
"Mungkin bosen? Itu udah biasa dalam sebuah hubungan apalagi kalian udah lima tahun," jawab Fiony mengangkat kembali kepalanya, membalikan tubuh Vivi agar menghadap kepadanya. "Setelah masa bosannya selesai, dia akan kembali kaya dulu."
Vivi menggenggam tangan Fiony yang baru saja menyentuh pipinya, ia mengangguk percaya dan langsung memeluk Fiony, "Tetep jadi temen aku, Fio, gak ada yang pernah pandang aku setulus kamu, mereka semua selalu pandang aku dengan kebencian."
Fiony mengangguk, "Aku gak akan tinggalin kamu." Fiony mengusap kepala belakang Vivi dan memejamkan mata, berusaha mencari ketenangan dari semua riuh bising yang mengelilingi kepalanya saat ini.
"Sini." Chika menuntun Ara masuk ke kamar mandi, ia membuka jaket Ara yang sudah basah kuyup lalu melucuti satu persatu pakaiannya sampai Ara tidak mengenakan sehelai benangpun. Chika menatap Ara sejenak, kekasihnya itu masih melamun dengan tatapan kosong, mungkin masih sangat shock dengan apa yang terjadi pad la Dey.
Chika melepaskan shower dari penyangganya, ia mengatur suhu air agar sedikit lebih hangat sebelum membasahi seluruh tubuh Ara perlahan. Setelah itu, ia menuangkan sabun ke tangan kirinya, ia usap perlahan sampai menghasilkan sedikit busa kemudian ia usapkan ke seluruh tubuh kekasihnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)