"Selamat pagi, kak." Ashel tersenyum pada Vivi yang sudah rapi padahal waktu baru menunjukan pukul sembilan. Apa memang waktu yang pas untuk keluar dari kamar?
Vivi mengangguk, mendorong kopernya dan melenggang pergi dari kamar itu karena ini sudah waktunya ia kembali pada Chika. Peraturan aneh itu memang membuatnya pusing, sudah dapat dipastikan ini terakhir kalinya ia mau pergi liburan bersama kakak-kakak menyebalkan itu.
Vivi menghentikan langkah saat melihat beberapa sudah berkumpul di meja makan. Vivi memegang perutnya, lapar sekali rasanya. Ia memutuskan untuk memutar langkahnya menuju meja makan dan duduk di salah satu kursinya. Menu sarapan pagi ini roti bakar, sepertinya enak apalagi jika Veranda yang membuatkannya.
"Pagi, sultan," sapa Lidya tersenyum.
Vivi mengangguk seraya meneguk coklat panas yang disediakan di sana.
"Punya Vivi jangan pake selai kacang," ucap Veranda pada Shania yang baru saja hendak membuatkan roti. "Alergi."
Shania hanya mengangguk.
"Emang dilema terbesar pemerintah tuh kan ini, melakukan pembangunan didemo, tidak melakukan pembangunan didemo," ucap Beby seraya menaikan letak kacamata yang sedikit merosot dari hidungnya. "Sadar gak selama ini yang paling lantang teriak soal konservatif alam itu orang kota? Sedangkan orang desa, pelosok, yang hidupnya di kelilingi hutan sedikit kesusahan karna gak ada pembangunan, ketinggalan jaman juga."
Kinal mengusap dagunya, "Iya sih."
"Coba mana yang lebih penting? Konservatif atau eksploitatif?" tanya Beby seraya tersenyum pada Shania yang memberikannya roti bakar.
"Dua-duanya penting," jawab Viny menegakan punggung yang sebelumnya bersandar. "Kalo kita fokus sama konservatif, kesejahteraan manusia belum tentu terjamin, kalo kita fokus sama eksploitatif, alam juga lama lama rusak. Titik tengahnya ya jangan condong ke salah satunya."
"Pilih aja Nal mana lahan yang cocok dibangun sama lahan yang lebih cocok untuk dipertahankan, nanti ada bantuan juga kan dari pemda setempat," ucap Lidya menambahkan.
"Okelah thanks ya." Kinal menepuk keras bahu Lidya.
"Sakit anjing." Lidya menepis kasar tangan Kinal di bahunya kemudian menatap Vivi. "Vi, punya kuasa gak buat perizinan gitu?"
Vivi mengangguk.
"Posisi keluarga Vivi lebih dari presiden loh, pemerintahan ada di bawah keluarga dia."
Azizi tersedak cukup keras. Melody buru-buru memberikan segelas air putih pada Azizi dan mengusap tengkuknya, "Ari maneh kunaon atuh?" Melody menurunkan usapannya pada punggung Azizi.
"Ngga-ngga." Setelah memastikan tenggorokannya tidak gatal lagi, Azizi meneguk air putih yang Melody berikan. Kalimat Beby tadi benar-benar membuatnya terkejut.
"Kasih tau aja di mana tempatnya." Vivi mulai melahap roti yang baru saja Shania berikan. Akhirnya ia sarapan dengan enak, tidak seburuk kemarin.
"Wih keren-keren, thanks yaa." Kinal tersenyum pada Vivi, meski gadis itu tidak membalas senyumannya, hanya mengangguk kecil. Namun, setidaknya satu pekerjaan beratnya selesai.
Viny memperhatikan Vivi lalu beralih pada Veranda yang sedang menawarkan Vivi kue. Jika Vivi punya kuasa untuk mengendalikan pemerintah, apa dengan alasan yang sama gadis itu bisa mempertahankan Chika sampai sejauh ini? Viny berdehem keras hingga tak lama terdengar suara ketukan jari Beby pada meja.
Lidya langsung menatap Kinal lalu memutar bola matanya ke arah Beby dan Viny. Kinal menggeleng tidak mengerti, ada sesuatu yang mungkin tidak ia ketahui, ia juga bukan tipe orang yang ingin mengetahui sesuatu di luar haknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMMA
FanfictionApa yang lebih sulit dari mempertahankan sebuah hubungan? (17+)