19

6.8K 750 323
                                    

"Aku yang pesen tiket ya, kamu tunggu aja di sini takutnya capek." Ara menyuruh Fiony duduk di salah satu kursi tunggu sementara ia berjalan menunju pembelian tiket.

"Biar aku aja, kak." Chika menahan tangan Vivi yang hendak berdiri, ia mendahului langkah Vivi dengan buru-buru berjalan menyusul Ara.

Vivi menopangkan dagu pada tangan kanan yang bertumpu di meja. Ia memandangi Fiony yang duduk di depannya, jika diperhatikan, kecantikan Fiony sempurna, suaranya yang lembut, senyumannya yang manis, benar-benar akan membuat siapapun terpesona melihatnya.

"Jangan liatin aku terus, aku gak bisa tanggung jawab kalo kamu jatuh sama aku," ucap Fiony tanpa mengalihkan fokusnya pada ponsel.

Vivi mengerjap dan buru-buru membuang pandangannya. Ia berdehem, mengangkat sedikit dagunya, berusaha bersikap biasa saja. Melihat itu, Fiony hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya tanpa berkata apapun.

"Fio, semalem aku kan ML sama Chika terus-" Vivi mengetuk dahi, berusaha mengingat kejadian semalam.

Fiony menyimpan ponsel untuk menghargai pembicaraan Vivi, "Terus?"

"Aku jorok gak ya bilang ini?" Vivi mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan tidak ada siapapun yang akan mendengar pembicaraannya. "Waktu Chika keluar, dia sebut nama Ara tapi aku gak tau aku salah denger atau ngga."

"Mungkin salah denger." Fiony mengangkat kedua bahunya sekilas, berusaha untuk tidak peduli dengan cerita Vivi yang melibatkan Ara.

"Kamu masih belum?" Vivi menggenggam punggung tangan Fiony di atas meja.

Fiony menggeleng, "Mungkin nanti, dia belum siap," jawabnya sambil melirik ke arah Ara yang sedang mengantri, antriannya cukup panjang padahal ini bukan hari libur. "Kamu sama kak Chika gimana? Baik-baik aja?" Fiony tiba-tiba saja terbatuk, tidak lama, hanya sekilas.

"Aku merasa dia berubah sejak pulang dari Bali." Vivi bersandar di kursi. Dari embusan nafas kasarnya, siapapun bisa melihat bahwa Vivi menyimpan beban.

"Kamu juga berubah 'kan? Kamu jauh lebih hangat, gak sedingin dulu."

"Bali mengubah segalanya, aku berusaha berubah karna aku takut kehilangan dia." Vivi melirik sekilas pada Chika, antriannya sudah mulai mengikis, tetapi jarak mereka dengan meja pembelian tiket masih cukup jauh. "Katanya jika ingin memastikan orang bahagia sama kita, kita harus mau jadi apa yang dia inginkan."

"Beberapa hal di dunia ini gak bisa ditentukan pake teori, kadang sesempurna apapun kita berusaha untuk bisa jadi orang yang dia inginkan, kalo kebahagiaan dia bukan kita, kita tetep gak punya tempat." Fiony tersenyum getir. Sama seperti Vivi, nafasnya berembus berat.

"Kamu baik-baik aja 'kan?" Vivi mengeratkan genggamannya, dari tatapan dan juga senyumannya, ia merasa ada kesedihan atau masalah besar yang Fiony rasakan.

"Aku baik-baik aja." Fiony menangkupkan satu tangannya yang lain di atas punggung tangan Vivi. "Janji sama aku."

"Apa?" Vivi menaikan alisnya bingung.

"Apapun yang terjadi ke depannya, jangan pernah sakitin Ara, jangan gunain kekuasaan kamu buat nyakitin dia." Fiony menatap Vivi penuh harap.

"Aku emang gak bisa nahan emosi tapi aku bukan orang gila yang tiba-tiba nyiksa orang lain." Vivi mengernyit, ke mana arah pembicaraan Fiony sebenarnya?

"Jika kamu menemukan alasan kenapa kamu harus siksa Ara, aku mohon jangan pernah lakuin itu, aku maafin kamu atas apa yang kamu lakuin ke aku, aku hanya minta itu, jangan sakitin Ara. Kesakitan dia adalah kesedihan terbesar aku." Fiony mengeratkan genggamannya, berharap Vivi akan berjanji untuk tidak menyakiti Ara.

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang