EPILOG

9.4K 908 361
                                    

"GAREMNYA MANA?!"

Ara yang sedang bersembunyi di bawah meja jadi terbelalak ketika melihat Chika tiba-tiba saja muncul di depannya. Ara menunjukan cengirannya, diam-diam meneguk ludah, tidak ada yang lebih menyeramkan dari seorang istri yang kekurangan bumbu di dapur.

"Kenapa sembunyi? Keluar." Chika menyimpan spatula di bahunya, memandangi Ara yang baru saja keluar dari tempat persembunyiannya.

Chika berkacak pinggang, menggelengkan kepala, sudah dua tahun ia menikahi seorang gadis tengil yang selalu berbuat ulah setiap harinya, ternyata cukup menguras tenaga. Chika memandangi Ara dari atas sampai bawah, Ara memakai celana berwarna pink bergambar dora, kaosnya berwarna hijau bergambar upin ipin, topi kuning spongebob, entah apa yang Ara pikirkan saat membeli semua pakaian itu.

"Minta garem ke tetangga sana." Chika mengembuskan nafasnya, berjalan kembali menuju dapur. Memalukan sekali seseorang yang namanya masuk sepuluh besar orang terkaya di Asia tidak memiliki garam di rumahnya.

"Hadeh dasar cerewet."

"Apa kamu bilang?"

"Ng-ngga." Ara berlari terbirit-birit keluar dan berhenti di teras rumah.

Ara memandangi rumah-rumah mewah yang sewarna di sekelilingnya, ia mengusap dagu, berpikir rumah mana yang akan ia kunjungi, isi rumah itu adalah orang-orang yang tidak terlalu waras, ia harus hati-hati dalam memilih jika tidak ingin mendapatkan masalah atau sedikitnya rasa pusing di kepalanya. Setelah cukup lama berpikir, Ara berjalan mendekati rumah Ashel dan Azizi yang berada tepat di samping rumahnya. Tanpa mengetuk pintu, ia masuk ke sana dan segera berhenti ketika Azizi menghentikan langkahnya.

"Denger-denger Christy sakit ya kemarin?" Azizi melipat kedua tangannya di depan dada dengan gaya seakan tengah menginterogasi gadis di depannya ini.

"Iya." Ara menyipitkan matanya bingung melihat ekspresi Azizi, apa ada yang salah dari penampilannya? Ara menunduk, memandangi bajunya sendiri, apa yang salah?

"Kamu kasih apa?"

"Paracetamol."

"Kata siapa?"

"Ya emang obatnya itu kan?"

"Kamu tau gak sih? Sebesar apapun pengetahuan kamu tentang sebuah obat, tetep aja lebih baik dipakai sesuai dengan resep dokter. Kamu gak bisa kasih obat sembarangan, bahaya tau? Kamu ngerti gak dosisnya? Ngga 'kan? Itu harus disesuaikan dengan usia dan berat badan, itu alasan kenapa perawat selalu nanya berat badan dan usia ketika kita berobat karena untuk menentukan dosis obat. Sekarang kamu kasih Christy paracetamol yang kamu sendiri gak tau dosis terbaik yang harus diberikan sama dia itu berapa."

Ara mengerjap, kepalanya mendadak pusing mendengar penjelasan Azizi yang cukup panjang dan tidak ia mengerti sama sekali. Ara hanya mengetahui bahwa ia salah, itu karena kemarin ia panik melihat Christy demam. Ara memperbaiki letak topinya, bingung apa yang harus ia jawab.

"Konsumsi parasetamol yang salah bisa meningkatkan risiko kerusakan hati yang parah. Mau tau gejala kerusakan hatinya apa aja? Kulit dan mata menguning, mual dan muntah, nyeri di bagian kanan atas perut." Azizi menepuk perut Ara cukup keras. "Kehilangan nafsu makan, kelelahan, berkeringat lebih banyak, kulit memucat, memar atau pendarahan yang tidak wajar, urine atau feses berwarna gelap. Ini tuh bahaya, kamu seharusnya dateng ke aku kalo dia sakit, dia juga adik aku bukan cuma adik kamu dan-"

"-Ada gorila!" Ara menunjuk ke belakang. Tepat ketika Azizi menoleh, Ara berlari keluar dari rumah itu karena tidak kuat pusing mendengar kalimat Azizi yang tidak ia mengerti sama sekali.

Ara masuk ke rumah di sampingnya, ia berjalan sangat hati-hati karena pemiliknya serupa dengan binatang buas, lebih buas dari harimau. Ara berjalan mengendap-ngendap menuju dapur hingga akhirnya ia memejamkan mata ketika mendengar suara tembakan, ia meneguk ludah dan berbalik, memaksakan senyum pada Veranda yang berjalan mendekatinya dengan memegang pistol asap dan katana. Apa selalu itu yang gadis itu mainkan setiap harinya?

DILEMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang