18. Jangan Pergi!

5K 369 6
                                    

Marhaban ya Ramadan 💜

Kuy, vote dulu sebelum baca⭐ Jangan jadi silent reader 🙂



Happy & enjoy reading 💜




💜



Sebenarnya, dua seminggu ini Rafa dan Felisa setelah kejadian di karaoke kembali dalam mode saling menghindar, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Jika sebelumnya, mereka hanya tidak saling bersapa dan masih bertatap muka sesekali, tapi kali ini bahkan tidak pernah saling bertemu sama sekali. Mereka selalu punya cara tersendiri untuk saling menghindar dan tidak bertemu sama sekali.

Seperti malam ini, Rafa kembali pulang pukul 9 malam di mana sudah bisa dipastikan Elvan sudah tidur dan Felisa berada di dalam kamar. Seperti malam-malam sebelumnya rencana Rafa pulang ke rumah, mandi, mengecek makanan di meja dan makan malam. Walaupun masih dalam mode saling menghindar, tapi mereka masih saling melaksanakan kewajiban sesuai kesepakatan.

Satu kebiasaan lagi, Rafa akan mengecek Elvan. Apa bocah itu tidur di kamarnya, atau di kamar Felisa? Jika di kamar Felisa, Rafa cukup mengintip sedikit lewat celah pintu untuk melihat wajah Elvan.

Tapi malam ini, tepat Rafa membuka pintu, suara tangis Elvan langsung menjadi sambutan pertamanya. Setelahnya, Rafa mendengar suara langkah yang berlari ke arahnya.

"Daddy ... huwaa!!" Elvan berlari dengan tangisnya. Wajahnya sudah penuh dengan air mata.

Saat sudah berada di depan Rafa, lelaki itu terduduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan Elvan.

"Kenapa, hei anak aku?" Rafa jelas sangat khawatir, saat melihat tangisan Elvan. "Ada yang sakit, apa dimarahi momi?"

Jika hal kedua yang membuat bocah itu menangis, jelas Rafa akan balik memarahi Felisa. Senakal apapun anaknya, Felisa sebagai Ibu tidak harus memarahi Elvan sampai harus menangis seperti ini.

Elvan menggeleng, masih terus menangis malah semakin kencang membuat Rafa semakin panik.

"Kenapa, Boy? Bilang sama ak-- eh, Daddy!" Rafa memang masih secanggung itu juga, untuk membuat dirinya memanggil 'Daddy' ke diri sendiri.

"Mo--mi ... hiks ... sa--kit hiks. Da--ri hiks siang ti--dur ... te ..rwuss hiks ... gak ... bangun ... sampai sekarang hiks Dad!"

"Sakit?" tanya Rafa lagi yang hanya dibawah anggukan Elvan dan tangisannya yang semakin kencang. Rafa mengusap air mata Elvan. "Udah jangan nangis, Boy. Katanya, bukan anak kecil kaya Cio. Iya, kan?"

Elvan mengangguk. "Iya, tapi hiks ... Momi."

"Udah, yah? Sekarang Daddy mau lihat Momi. Kita obatin Momi biar sembuh, asal Elvan jangan nangis lagi, ok!" Elvan malah terdiam tidak merespons. "Kalau masih nangis, Momi gak akan Daddy obatin. Gak mau!"

Elvan buru-buru menggeleng, mengusap air matanya dan ingus ke baju Rafa yang mau marah tapi tidak tega. "Elvan udah gak nangis. Ayo, sembuhkan Momi, Dad!"

Rafa mengangguk. "Ayo!"

Rafa menggendong Elvan memasuki kamar Felisa, setelah sebelumnya menyalakan semua lampu di ruang tamu. Kamar Felisa masih gelap, terlihat wanita itu sedang terbaring dibalut selimut.

Setelah menyalakan lampu, Rafa menurunkan Elvan. Mengecek kening Felisa yang memang panas, wanita itu menutup mata dan sangat berkeringat.

"Dia itu mau mati di sini apa, yah!" Rafa melihat Elvan. "Tunggu sebentar sama Momi, Yah!" Dibalas anggukan Elvan.

Rafa masih ingat, jika punya alat kompres demam yang tidak tahu apa namanya yang dibeli oleh Alexa waktu itu. Sekarang, sudah zaman modern. Buat apa, harus repot-repot kompres mengunakan manual, jika sudah ada yang praktis. Itu kata Alexa waktu itu. Siapa ada yang tahu, barang itu akan berguna saat ini?

Hi Dad! I'm Your Son (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang