4. PULANG
━━━━━────────── • • • ✦Bell sekolah berbunyi menandakan kelas telah usai untuk hari ini. Membuat suasana sekolah menjadi ricuh tidak terkendali. Murid laki-laki mulai berdesakan hanya untuk bisa keluar secepatnya dari area sekolah. Sedangkan murid perempuan memilih menyisih dan diam di kelas untuk beberapa saat karena tidak mau berdesak-desakan.
Seperti saat ini Zeyna sedang mengemasi alat tulisnya dengan tenang, membuat Ghesya berdecak kesal.
"Ih ayo cepetan Zey!" ujar Ghesya tidak sabaran karena setelah pulang sekolah mereka berencana untuk mampir ke cafe baru yang letaknya tidak jauh dari sekolah mereka.
"Iyaudah ayo udah selesai nih," ujar Zeyna kalem.
Amara yang tadi sudah berada di parkiran kini kembali lagi ke kelasnya untuk menyusul kedua temannya yang masih berada di dalam kelas.
"Lo berdua cepetan dong lama banget sih!" ujar Amara kesal, bukan main.
Mereka bertiga akhirnya pergi menyusul ketiga temannya yang lain, karena mereka sudah berangkat duluan untuk mencari tempat duduk yang pas untuk mereka berenam.
Saat Zeyna memasuki Cafe tiba-tiba pandangannya jatuh kepada sosok yang tidak asing baginya, yang ia temui di sekolah tadi pagi.
Amara yang memanggil Zeyna berkali-kali pun tidak di gubris oleh Zeyna. Hingga ia mengikuti kemana arah pandang Zeyna.
"Ya ampun! Itu Zidan kan? Kok dia bisa ada di sini sih," tanya Amara bingung.
Ghesya yang mendengar nama Zidan pun akhirnya menoleh antusias ke arah Amara, "mana Zidan?" tanya Ghesya sedikit meninggikan suaranya.
"Itu" Amara menunjuk Zidan dengan dagunya.
"Ya ampun kok dia bisa ada di sini sih?!" ujar Ghesya
Zeyna mengedikan bahunya, acuh tak acuh. "Lagi nongkrong juga mungkin. Apalagi Cafe ini kan lumayan deket sama sekolahan kita." ujar Zeyna masuk akal membuat teman-temannya mengangguk.
Fara melambaikan tangannya kearah Zeyna, Amara, dan Ghesya. Memberi tanda bahwa mereka sudah menemukan tempat duduk yang pas.
Saat mereka berenam sedang berbincang-bincang, tiba-tiba Zidan menghampiri Mereka dengan temannya. Membuat mereka terkejut. Kecuali Zeyna.
Zeyna bersikap biasa saja seolah kedua manusia yang baru saja bergabung dengan mereka tidak ada. Membuat Zidan meringis pelan.
"Lo semua yang tadi sekelas sama gue kan?" tanya Zidan basa-basi. "Boleh gue gabung?"
"Gue rasa meja bagian kita cuman bisa di isi sama enam orang aja, ga lebih dari itu." Zeyna menolak mereka berdua dengan halus.
Randi yang mendengarkan itu hanya kikuk. Begitupun teman-temannya Zeyna. Hingga membuat Fara yang duduk di sebelah Zeyna menyikut lengan Zeyna pelan, berusaha memperingati. 'Lo gak boleh kasar-kasar kaya gitu'
Fara tersenyum ramah kepada dua orang di hadapannya, "boleh kok tinggal nambahin kursi aja, masih cukup kayanya. Yakan temen-temen?" tanya Fara kepada teman-temannya berharap mereka setuju dengan pernyataannya meski mendapat tatapan tajam dari Zeyna.
⋆ ⋆ ⋆ ⋆
"Lo tuh gak boleh kaya gitu Zey gak baik. Lo itu cewek yang anggun dikit kek biar lebih keliatan sopan. Gak usah kaya tadi," Fara menatap Zeyna yang sedang sibuk dengan sang Senja yang menghiasi langit Jingga.
Agista menatap Fara tajam. Seolah memperingati suatu hal, sebelum kejadian yang tidak mengenakan terjadi. Karena Agista tahu jika Zeyna itu sosok yang tidak begitu mudah untuk beradaptasi dengan orang baru yang akan membuatnya risih dan tidak nyaman. Namun Fara terlalu berlebihan dalam porsi mengungkapkan-nya bagi Agista.
Amara yang merasa jika suasana berubah menjadi tegang-pun berusaha untuk mencairkan suasana agar kembali seperti semula. Tidak canggung dan tidak semenegangkan ini.
"Udalah, jangan serius-serius kaya gitu. Lo juga Far! Jangan karena cowok baru itu lo jadi lupa sama satu hal tentang temen kita yang satu itu," Amara menunjuk Zeyna dengan sendok Ice Cream yang ada dalam kekuasaan-nya. "Zeyna kan emang kaya gitu orangnya, risihan, sama sering gak nyaman kalau deket sama orang baru. Lo harusnya bisa hargain itu,"
Fara menatap Amara, "gue enggak ada maksud kaya gitu Ra. Gue cuman ngingetin Zeyna aja, dia gak boleh terlalu sering kaya gitu sama orang lain gak baik. Apalagikan dia cewek," Fara berusaha menjelaskan pendapatnya meski ia tidak yakin jika teman-temannya itu akan mengerti apa maksud dari perkataannya tadi.
Ghesya mencoba menengahi, "iyaudah kenapa, kita kesini kan mau ngumpul, ngobrol-ngobrol santai bukan nya mau ribut kaya gini,"
Zeyna jengah, emosinya sudah mulai tidak terkontrol kembali. "Gimanapun gue, itu cuman gue yang tau. Bukan orang lain. Kalo lo lupa Far," ujar Zeyna bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan teman-temannya yang hanya menatapnya tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Gue bilang juga apa Far. Udah tau Zeyna orangnya sensitif lo malah terus aja gituin dia. Cuman kita doang Far yang bisa ngertiin dia," ujar Amara emosi.
Lily yang sedari tadi memilih untuk bungkam dan memainkan kuku-kuku jarinya dengan santai-pun akhirnya membuka suara, "gak usah berantem kenapa sih? Ribet banget lo berdua. Udah biarin aja dia lagi butuh waktu untuk sendirian sekarang,"
"Sorry, sebenernya maksud gue baik sama dia. Gue cuman mau dia deket sama Zidan. Lo pada gak liat apa kalau dari tadi itu si Zidan ngeliatin Zeyna terus selama kita ngobrol?" tanya Fara
"Gue juga sebenernya merhatiin dari tadi, cuman gue diem aja. Kayanya tuh cowok tertarik sama Zeyna," ujar Lily yang langsung di benarkan oleh Fara. Sedangkan keempat teman-nya hanya menatap mereka berdua dengan tatapan tidak mengerti membuat Lily dan Fara menghembuskan nafasnya lelah.
⋆ ⋆ ⋆ ⋆
Disisi lain Zeyna sedang menikmati senja dan semilir angin sejuk dan teduh yang sedang menerpa setiap inci wajahnya hingga menyentuh tubuhnya menembus tebalnya sweeter yang sedang Zeyna kenakan.
Zeyna sedang duduk di halte menunggu angkutan umum atau bus yang akan mengantarnya ke sebuah tempat. Zeyna tidak ingin pulang terlalu cepat kerumahnya. Ia ingin sendirian terlebih dahulu supaya perasaannya yang berkecamuk menjadi tenang kembali.
Namun tiba-tiba ada sehelai daun yang jatuh kearahnya karena tertiup angin. Bersamaan dengan itu ada seseorang yang duduk di sebelahnya masih memakai seragam sekolah persis seperti seragam yang sedang Zeyna kenakan. Membuat Zeyna menoleh kearahnya.
"Hai!" sapanya membuat alis Zeyna bertaut. "Gue Gilang," lanjutnya setelah melihat ekspresi wajah Zeyna.
"Oh," jawab Zeyna singkat dengan tatapan yang kembali lurus kedepan.
Gilang menghembuskan nafanya berat, sesulit itukah untuk mengajak Zeyna berbicara? Fikirnya.
"Belum pulang?"
Zeyna menggeleng, "belum. Lagi nunggu angkutan umum," sahut Zeyna.
Sebenarnya Zeyna sudah merasa tidak nyaman, bukan karena Gilang tapi karena dirinya sendiri. Karena ia selalu canggung bahkan bisa saja menjadi sangat kaku saat berbincang dengan orang baru. Membuatnya menjadi risih dan tidak tenang.
Gilang yang melihat ketidak nyamanan Zeyna-pun tertawa di sampingnya. "Ya ampun lo kenapa? Santai, rileks aja kali. Gue enggak gigit kok,"
Zeyna yang mendengar penuturan Gilang akhirnya tersenyum kikuk. Membuat Gilang mengacak-ngacak puncak kepalanya pelan.
"Mau gue anterin pulang?"
Zeyna menggeleng tidak enak dan tidak mau merepotkan, "gak usah, Makasi." tolaknya halus.
"Gapapa gak usah gak enak kaya gitu, gue anterin ya? Udah sore banget mana ada angkutan umum yang lewat," ujar Gilang bersikukuh hingga akhirnya Zeyna menyetujui untuk pulang dengannya.
Saat Zeyna sudah menaiki motor, Gilang tersenyum dibalik helm full face nya. Merasa senang karena perempuan itu mau di antar pulang olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEYNA
Подростковая литератураZeyna Geovanka. Orang-orang mengenalnya karena julukan perempuan itu. 'Perempuan Berdarah Dingin' atau 'Perempuan Berhati Es'. Sejak dulu Zeyna selalu sulit untuk menerima orang baru karena sangat sulit baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan b...