Skye terdiam saat Dehaan dengan sengaja melepaskan pelukannya."Dehaan?" Ucapan Skye tak digubris Dehaan yang berjalan seperti orang yang tidak melihatnya.
"Apa kau tidak mendengar? Aku menyukaimu! Aku bilang ... aku menyukaimu!" Namun Dehaan benar-benar mengabaikannya. Skye merasakan sakit di hatinya terlebih saat Dehaan dengan mudahnya mengikut ke pelukan Larine dan dengan mesra memeluk wanita itu. Larine menatap mengejek ke arah Skye sambil memapah Dehaan masuk ke istana. Skye akhirnya seperti orang bodoh mengikuti pasangan itu, dan tak tahu harus berkata apa saat Dehaan dan Larine memasuki kamar inap dan mengunci rapat pintunya. Hati Skye sangat sakit saat melihat lampu kamar itu tiba-tiba padam. Beberapa pikiran buruk membuat Skye tak sanggup menahan air matanya. Tubuh Skye meluncur tak tertahan dan menabrak lantai karena kakinya terasa kehilangan kekuatan dan kepalanya terlalu sakit karena kebanyakan menangis. Skye menutup matanya dengan posisi telungkup di depan pintu kamar inap, sungguh menyedihkan siapapun yang melihatnya.
Cinta adalah sebuah kehancuran jika diisi dengan kebohongan, tak selamanya kebohongan selalu berarti buruk tapi kebenaran adalah hal terbaik yang bisa kau berikan untuk orang yang kau cintai.
Ucapan itulah yang kini menyerang Dehaan. Tidak ada niatan untuk mengabaikan Skye, tapi untuk menceritakan segala kebenaran itu, masih terasa sangat berat untuknya.
Dini hari Skye terbangun masih dalam posisi meringkuk di depan pintu. Hanya saja yang berbeda adalah selimut yang menutup tubuhnya. Skye bangkit dari tidurnya dan meregangkan badannya sambil perlahan mengintip ke dalam ruangan inap. Lampu ruangan itu menyala dan Skye dengan jelas melihat Larine tertidur pulas di ranjang, hanya Larine. Lalu di mana Dehaan? Pikiran itu membuat Skye cepat-cepat berlari ke kamarnya, berharap pria itu ada di sana, tapi itu tetap menjadi harapan kosong bagi Skye, karena yang ia dapati adalah Galea yang tertidur pulas di lantai kamarnya. Skye menuruni lantai 3 setelah memberi selimutnya pada Galea yang tidur tanpa selimut. Beberapa pelayan yang sudah aktif bekerja di jam sepagi ini menyapa hormat pada Skye yang hanya tersenyum dan langsung menuju ke luar rumah. Suara derap sepatu kuda yang bertemu suara ubin lantai di halaman utama memancing fokus Skye yang sedikit membelalak kaget melihat seekor kuda dengan penunggang yang sangat ia kenal kenali.
"Re-regen? Apa yang membawamu ke mari?" tanya Skye pada sang penunggang yang tidak lain Regen, penunggang kuda terbaik dan tercepat di Amsterdam setelah Barend. Tanpa banyak bicara Regen langsung mengulurkan sebuah surat padanya. Skye menatap bingung dengan surat yang tampak sangat resmi itu. Perlahan gadis itu membukanya.
" ... Alex, raja Amsterdam baru saja wafat. ..."
Tangan Skye bergetar saat membaca bagian itu, ditatapnya Regen dengan tatapan tak percaya.
"Maafkan hamba, Putri. Namun semua itu adalah kebenaran. Tuanku raja Alex sudah meninggalkan kita," ucap Regen menunduk hormat.
"Tidak! Tidak mungkin! Ayahku baik-baik saja, ayahku tidak mungkin pergi tanpa permisi padaku! Tidak!" Regen dengan cepat menangkap tubuh Skye yang melemah karena gadis itu terus menangis. Galea yang baru tiba dan mengetahui kabar itu ikut menangis dan memeluk Skye dengan erat.
"Putri, maaf bukan maksud hamba tidak memahami kesedihan anda, tapi kembali secepatnya ke Amsterdam adalah langkah tepat saat ini. Karena ayahanda putri harus segera dimakamkan dengan layak," ucap Regen sambil membungkuk. Skye mengelap air matanya dengan kasar.
"Tapi aku tidak bisa meninggalkan ibu mertuaku yang sedang sakit seorang diri," jawab Skye.
"Hamba yang akan menjaganya, Putri. Dan hamba akan menyusul pulang begitu raja Philip kembali dari perjalanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEHEIM✔
Fantasy(Historical-Fantasy) Kendati ingin menolak, Skye tidak bisa memalingkan wajahnya dari penderitaan yang dialami rakyatnya dan merelakan kebebasannya untuk sebuah pengorbanan. Amsterdam dan Vienna, dua kerajaan yang sama besar namun terikat masa lalu...