Setelah perbincangan mengenai penobatan besok, Skye tak bicara sepatah katapun bahkan saat mereka telah tiba di istana, Skye melamun."Kau tidak turun?" Skye terlihat kaget mendengar pertanyaan Dehaan itu, dan lebih kaget lagi saat sadar bahwa ia dan Dehaan sudah tiba di istana. Skye buru-buru turun dari Bolt, hingga kakinya tersangkut di tali kekang dan Skye terjatuh tanpa bisa tertolong Dehaan yang saat itu sedang berbicara dengan kedua ajudannya.
"Agk," ringgis Skye merasa kakinya terkilir. Dehaan segera menghampirinya.
"Apa kau selalu ceroboh, Putri? Bahkan untuk menunggu aku membantumu turun pun kau tak mau!" ucap Dehaan marah. Skye hanya diam.
"Kau mendengarku?!" tanya Dehaan sambil membantu Skye berdiri. Tampaknya mood Skye sedang buruk.
"Dehaan!" Keduanya menoleh ke arah suara yang ternyata Larine. Skye menghentakkan kakinya kesal lalu berlalu meninggalkan Dehaan begitu saja tanpa menoleh ke arah Larine yang menatap dalam diam.
"Tampaknya nona Skye sudah mengetahui masalah kehamilan nona Larine. Karena aku tak sengaja mendengar pembicaraannya dengan nona Larine di taman."
Dehaan menatap dingin pada Larine yang menghampirinya. Ucapan Larry saat di bar itu yang menjadi penyebabnya. Bukankah dia sudah memperingatkan wanita satu ini untuk bungkam? Tapi kenapa dia masih saja mengoceh bak ember bocor.
"Dari mana kau dengan Skye?" tanya Larine sambil mendekati Dehaan yang mengepalkan tangannya.
"Ikut aku!" ucap Dehaan sambil menarik Larine paksa.
"Dehaan! Mau ke mana?!" tanya Larine cemas. Namun Dehaan tak peduli hanya membawa Larine dengan amarahnya dan menghilang di belokan menuju gedung selatan.
¤¤¤¤
Tangan Barend bergetar saat membuka penutup peti yang dibawa Regen itu. Wajah penuh tawa diselingi keseriusan milik Galea masih terpatri jelas di ingatannya.
"Aku akan pulang ke Amsterdam secepatnya!"
Ucapan gurauan ia dan Galea saat gadis itu akan berangkat ke Vienna adakah saat terakhir ia bisa berbicara dengan temannya itu. Tubuh Barend bergetar hebat saat melihat wajah pucat wanita yang ia sayangi itu. Tubuh yang selalu mengejarnya saat kecil dulu kini tampak kaku karena sudah bermalam. Barend menangis tanpa suara melihat cincin yang diberikan Evie waktu itu masih terpasang di jemari Galea.
"Aku akan memakainya saat kembali nanti, itupun kalau aku setuju menikah denganmu, Barend!" Dan saat itu Galea tertawa saat mengatakannya. Mengingat itu, air mata Barend semakin parah. Evie yang tahu masalah hati anaknya hanya bisa memeluk Barend dengan erat.
"Ma, kenapa dia meninggalkan aku?! Dia sudah berjanji akan pulang dengan selamat, tapi apa ini?" Barend terisak di pelukan Evie yang memeluk sabar putra bungsunya itu.
"Ini adalah takdir, Barend. Kau dan Galea tidak ditakdirkan untuk diikat jodoh di muka bumi ini. Kau harus merelakannya," bisik Evie lembut. Barend melepaskan pelukannya.
"Bagaimana jika Galea juga dibunuh Dehaan?" tebak Barend.
"Tidak mungkin, Barend. Galea terjatuh dari tangga bukan karena apapun. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Bahkan ayahmu ingin memaafkannya. Kenapa kau tidak bisa?"
"Karena dia pembunuh! Dan selamanya dia akan jadi pembunuh di hidupku!" ucap Barend penuh penekanan. Lalu mengangkat tubuh kaku Galea memasuki peti yang baru untuk diantarkan ke rumahnya. Evie memandang putra bungsunya yang paling berbeda itu. Espen dan Hansen adalah orang yang keras kepala tapi mereka tidak pembangkang dan mudah membuka hati untuk memaafkan orang lain dan juga rendah hati. Mereka berdua adalah lambang dari calon raja sejati walau keduanya berbeda pola pikir. Dan Barend, dia adalah versi pria dari Skye. Mereka keras kepala, pembangkang dan tak mau ditekan apalagi diatur. Namun Barend tak memiliki rendah hati sebanyak yang Skye punya. Pria itu sangat sukar memaafkan dan dalam kasus Dehaan, Evie bisa menjamin bahwa Barend akan sulit menerimanya walau satu atau dua tahun berlalu. Karena bagi Barend, Alex adalah panutannya juga pilar hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEHEIM✔
Fantasy(Historical-Fantasy) Kendati ingin menolak, Skye tidak bisa memalingkan wajahnya dari penderitaan yang dialami rakyatnya dan merelakan kebebasannya untuk sebuah pengorbanan. Amsterdam dan Vienna, dua kerajaan yang sama besar namun terikat masa lalu...