Senja (Cerita Singkat)

1.5K 24 0
                                    

Senja yang sama di langit berbeda. Setelah merelakannya, aku memutuskan untuk membuka hidup baru di tanah ini. Tanah yang akan aku junjung untuk mendapatkan kebahagiaanku. Juga untuk membuka kembali sebuah hidup yang baru.

Ku sibukkan diri untuk membuat beberapa design rumah. Tak luput pula ku bawa sebuah design istana impian kami berdua. Ah, lagi-lagi aku tak mampu mengusir kenangan tentang dirinya.

Jarum jam telah menunjukkan angka dua dini hari. Namun mataku enggan untuk menutup meski sepuluh jam lagi aku harus menghadiri rapat penting tentang proyek baruku. Oh Tuhan, berilah hamba rasa kantuk agar hamba mampu terpejam.

***

"Saya suka sekali dengan design yang anda buat Nona. Saya harap, semua ini dapat segera di realisasikan." Tuan Vladreck menjabat tanganku erat.

"Terima kasih banyak, Tuan. Proyek ini pasti akan segera saya realisasikan dan semoga tidak ada hambatan." Jawabku dengan penuh keyakinan.

"Baiklah Nona, saya pamit terlebih dahulu. Semoga Nona betah tinggal disini. Selamat siang." Ucap tuan Vlad seraya tersenyum padaku. Rambutnya yang sudah memutih tidak menghilangkan kharisma dalam dirinya sama sekali.

Vladreck Recshavock. Seorang milyuner yang namanya sudah terkenal di ranah bisnis antar negara, bahkan antar benua. Pria yang sudah berumur hampir tujuh puluh lima tahun, namun kharisma dan wibawa nya masih sangat terasa.

***

Seperti senja sebelumnya, aku menyusuri Gathero street yang persis berada di pinggir kanal Leabourne. Kanal yang usianya lebih tua dariku, atau bahkan lebih tua dari nenek buyutku. Warna jingga pada senja, seakan memberi kehangatan dalam hatiku yang kini perlahan membeku.

Kursi panjang tepat berada di bawah lampu itu adalah tempat favoritku untuk menikmati senja. Di temani segelas Hot Green tea, aku kerap menulis apa pun itu pada buku catatan yang selalu ku bawa. Begitu pun dengan senja hari ini.

Wahai ksatria jiwa
Bagaimana harimu tanpa adanya aku?
Adakah kamu merindukan aku?
Semoga senja ini mampu menyampaikan salamku untukmu

Wahai ksatria jiwa
Genap sewindu kita berpisah
Adakah kamu merasa gundah?
Semoga senja ini tak akan marah

Wahai ksatria jiwa
Hidupku terasa hampa jauh dari cinta
Meski ku coba mengukir bahagia
Namun hanya senja sendu yang sanggup ku cipta

Yang selalu merindumu,

-Danessia Aurora-

Ku senderkan punggungku pada kursi panjang ini, menghirup udara senja kanal Leabourne yang mampu menentramkan hati.

"Obat hati yang merindu adalah bertemu, Bukankah sebuah kerinduan itu harus lekas di tuntaskan?"

Sebuah suara bariton asing seketika mengusik indra pendengaranku. Ku tolehkan kepala untuk mencari sumber suara itu. Kemudian, mataku melihat seorang pria bersandar pada tiang lampu yang ada di belakangku.

Ku perhatikan sosok itu dari atas kepala sampai bawah. Kemeja warna abu-abu yang di lipat sampai siku, sepasang sepatu pantofel mengkilap, serta jas warna hitam yang ia sampirkan di pundak kanannya. Outfit yang menurutku sangat formal untuk berada di tempat umum seperti ini.

Enggan untuk mencari tahu atau bertanya siapa sosok asing di belakangku ini, aku lebih memilih menganggapnya tidak ada. Ku kembalikan pandanganku pada kanal Leabourne yang masih di lalui beberapa sampan.

"Hey Nona, kau mengabaikan aku?"

Suara bariton itu kembali terdengar. Kini dia sudah berdiri di hadapanku dengan tatapan mata yang tidak aku mengerti artinya. Tanpa mengeluarkan kata, aku meliriknya sekilas. Setelah memasukkan buku catatanku ke dalam tas, aku pun beranjak dari kursi panjang itu dan pergi meninggalkan pria bariton itu.

Senjaku ternoda oleh suara bariton

***

22.02.2015

Sebuah GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang