Ruang

1.1K 20 0
                                    

Kau telah mengambil banyak masa, tidak kah sewindu itu terlalu lama?

Janji saya masih sama, kan mendampingimu hingga kita menua.

Entah cara apa lagi yang mesti saya lakukan, jika semua pesan saya tidak kau balaskan.

Ribuan kata telah saya tuliskan, namun hadirmu tidak saya temukan.
Saya merindukanmu Danessia.

-Abran Galahad-

Ku pandangi layar datar di depanku dengan nanar. Membaca email darinya membuat dadaku semakin sesak. Buliran air mata yang sejak tadi ku bendung, akhirnya merebak turun.

Entah apa yang lebih menyakitkan dari sebuah pengkhianatan. Namun, aku pun cukup pengecut alih-alih menyelesaikan. Aku sadar, tidak semestinya ku pergi tanpa kabar. Tapi inilah aku dengan segala ketakutan.

Aku pun merindukanmu Abran, tapi apa dayaku?

"Pulanglah Danes, temui dirinya. Sampai kapan kamu akan berlari? Jangan paksakan kakimu berpijak bukan pada tempatnya."

Sebuah tangan hangat mengusap kepalaku lembut. Tanpa menoleh, aku tau siapa pemilik tangan itu. Dia Paulo Lachbad--Po, begitu aku memanggilnya-- kawan yang sudah ku anggap seperti saudara. Pria asal Italia yang merantau ke tanah beruang merah ini.

"Haruskah Po?"

Tanyaku menyenderkan kepala di dada bidangnya. Dada inilah yang kerap menjadi sandaranku kala lelah.

"Ya, Danes."

"Tapi aku takut Po." Kini aku memeluk tubuh Paulo. Aku benar-benar takut untuk menemuinya. Paulo membalas pelukanku dan menepuk-nepuk bahuku seperti bayi.

"Tidak Danes, kamu berani. Ambillah cutimu, aku akan menemanimu bertemu dengannya."

"Bagaimana jika aku tidak sanggup dan runtuh Po?"

"Kau tidak akan runtuh Danes. Kau kuat, ada aku juga yang akan menguatkanmu. Selesai proyek ini, kita kembali ke negaramu." Po mengecup puncak kepalaku.

Ya, mungkin inilah saatnya aku kembali. Menyelesaikan masalah yang sudah terlalu lama ku gantung.

"Po,"

"Ya?"

"Terima kasih. Aku menyayangimu Po."

"I know."

***

01.03.2015

Sebuah GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang