Bulan menggantung besar di langit cerah. Kelamnya malam tersapu cerianya rembulan yang tersenyum penuh. Hawa terasa hangat di sekitar, semua orang tampak sedikit lebih santai setelah Kim Woo Shik kembali ke rumah. Sinar rembulan yang lembut menyinari seluruh taman dan membuat bayang-bayang pohon begitu mesra terbaring di tanah.
Di sana, Joo Hyuk duduk dalam diam di gazebo modern minimalis yang atapnya bisa menghalau sinar rembulan yang terang. Mata cokelat gelapnya menengadah ke arah langit, seolah-olah sedang menghitung jumlah bintang di alam semesta. Sinar indah dari rembulan seakan menghipnotis hatinya yang kalut. Ada keresahan di wajahnya, pandangan mata itu berisi kesedihan dan sesekali akan tampak menunjukkan kebingungan.
Sejak mulai masuk kuliah, Kim Woo Shik memang menyuruh Joo Hyuk untuk langsung terjun ke perusahaan. Diawali dengan magang di bagian marketing. Ayahnya ingin Joo Hyuk segera belajar untuk urusan ini dan itu, karena nantinya Kim Joo Hyuk yang akan melanjutkan perusahaan keluarga mereka ketika sang ayah tidak lagi bisa melakukannya.
Prinsip Joo Hyuk, yaitu tidak ada orang tua yang ingin anaknya susah. Jadi, selama itu make sense, Joo Hyuk pun tidak masalah mengikuti apa kata orang tuanya. Dia hanya ingin membahagiakan ayah dan ibunya. Kelak mereka ingin sang putra yang melanjutkan usaha keluarga. Selama ini Joo Hyuk senang-senang saja melakukannya, mungkin karena kebetulan keinginannya sejalan dengan keinginan kedua orang tuanya.
Namun, kadang-kadang hidup menyakitkan. Saat keinginannya dengan keinginan orang tuanya kebetulan tidak lagi sejalan. Rasanya Kim Joo Hyuk tidak tahu lagi bebas memilih jalan hidupnya sendiri. Semua keputusan yang terjadi dalam hidupnya, entah pekerjaan, jodoh, atau masa depannya telah orang tuanya atur.
Walaupun begitu kedua orang tuanya tidak lantas mewajibkan Joo Hyuk untuk menuruti semua keinginan mereka. Tetapi, saat momen sang ayah mengalami kecelakaan mobil lima hari yang lalu—ketakutan akan kehilangan dan tanggung jawab besar yang sudah di depan mata, membuat segala yang ada di bawah kaki Joo Hyuk terasa mengambang.
“Jjwogi ...”
Suara itu sudah dihafal Kim Joo Hyuk. Lagi pula, saat ini hanya ada satu orang yang memanggilnya demikian. Siapa lagi yang memberitahu yeoja itu kalau bukan ibunya sendiri. Nama itu adalah panggilan sayang dari mendiang neneknya, ketika Joo Hyuk masih kecil—lidahnya kesulitan saat akan meniru ‘Joo Hyuk-ie’ hingga akhirnya menjadi ‘Jjwogi’ karena pengucapannya yang lucu.
Joo Hyuk menoleh dan menatap Suzy yang datang, dengan tenang. “Mwo?” sahutnya.
“Istirahatlah, kau belum cukup tidur sejak dua hari yang lalu,” perintah Suzy dengan nada lembut. “Kita jauh-jauh dari New York pulang ke sini, begitu mendapat kabar kalau abeonim mengalami kecelakaan.”
Hingga hari ini Suzy sendiri belum pulang ke rumahnya. Setelah tiba di Korea, mereka langsung menuju ke rumah sakit tempat Kim Woo Shik dirawat. Saat itu Suzy bertemu dengan kakeknya di sana, Choi Yong Joon bahkan menyuruhnya untuk menginap saja di rumah keluarga Kim sekaligus untuk menemani Kim Ga Yeon.
“Jangan terlalu khawatir, syukurlah tidak ada korban jiwa. Abeonim hanya mengalami luka sedang, dan sopirmu hanya luka ringan. Jadi, abeonim bisa segera pulih kembali,” tambah Suzy dengan suara hangat menenangkan.
Kim Joo Hyuk mengangguk sekilas. “Aku tidak paham dengan orang-orang yang mengemudi ketika mabuk, apa mereka tidak sadar bisa membahayakan nyawa orang lain. Baguslah, pelakunya cepat tertangkap,” desisnya tak habis pikir.
“Kau sendiri bukankah sama lelahnya juga?” kata namja itu balas bertanya. Joo Hyuk berhenti sebentar dan dahinya berkerut samar. “Rencanamu jadi berantakan karena kepulangan kita yang mendadak.”
Suzy tersenyum kecil saat mengingat cerita dibalik keberangkatan mereka bertiga, bersama dengan Kim Ga Yeon—adik Joo Hyuk.
Dua minggu setelah kunjungan dirinya dari kediaman keluarga Kim waktu itu, akhirnya Joo Hyuk setuju dengan perintah sang ibu. Lee Kyung Mi—atas permintaan tersirat dari Suzy—menyuruh putra sulungnya untuk menjaga Kim Ga Yeon dan yeoja itu supaya pergi bersama menonton konser di luar negeri.
“Rencana adikmu lebih tepatnya,” ralat Suzy sambil mengulum senyum. “Untungnya, kita dapat kabar buruk itu setelah menemani adikmu selesai menonton konser yang ia impikan. Meskipun tidak sesuai dengan harapannya yang ingin menjelajah ke berbagai tempat di sana, tapi kurasa dia paham akan situasinya. Jadi, Ga Yeon masih sedikit beruntung.”
“Hmm.” Joo Hyuk tersenyum tipis. Dia ingat bagaimana adiknya saat itu merengek seperti bayi dan berguling-guling di lantai, ketika memohon padanya untuk ikut menjaga mereka berdua di negeri orang.
Suzy memperhatikan kedamaian di wajah itu. Bahkan tanpa menunjukkan sikap khusus tertentu, entah kenapa Suzy merasa ada banyak hal yang mengganggu pikiran Joo Hyuk sekarang.
“Kau itu selalu menatapku ...” kata Joo Hyuk dengan ekspresi datar, tapi pandangannya tertuju ke arah kolam renang.
Suzy duduk di samping Joo Hyuk dengan jarak yang cukup dekat. “Aku hanya ingin tahu apa yang kau pikirkan?” sahutnya blak-blakan. “Apakah itu ada hubungannya denganku?” tanyanya penasaran.
Joo Hyuk menoleh. Ditatapnya sisi samping wajah Suzy yang kini ikut menatap ke arah kolam renang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR
RomantikBagi Suzy, Joo Hyuk adalah sosok sempurna yang sesungguhnya. Seperti petrichor yang mengeluarkan aroma alami yang khas, segar, dan wangi ketika hujan turun. Suzy yakin Joo Hyuk adalah petrichor-nya setelah musim kering berkepanjangan di dalam hidupn...