I L U N G A 11

207 35 6
                                    

Happy Reading~

Jangan lupa di play mulmednya ya>.<

Ketika lampu jalanan mulai berkelipan, matahari di ufuk barat mulai memunculkan semburat kemerahan, Lala keluar dari gerbang asrama dengan jaket denim dan celana denim yang selaras. Ia menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mencari manusia yang tadi sempat ngebet sekali mengajak untuk keluar. Ada yang ingin dibicarakan dengannya, katanya.

Sebuah motor matic hitam berhenti tepat di depan Lala. Empu si punya motor menaikkan kaca helm dan tersenyum ke arah Lala. "Yuk, naik."

Dengan kikuk tanpa banyak berkomentar, Lala menaiki motor Dirga dengan perasaan yang sedikit aneh. Dulu biasanya ia selalu melihat Dirga dengan motor besar bewarna putih. Tidak pernah sekalipun ia melihat lelaki itu menaiki motor matic. Bahkan seingatnya Dirga tidak memiliki satu pun motor matic di rumah lelaki itu.

Dibonceng Dirga dengan matic membuatnya merasa canggung. Bukan, bukannya ia tidak suka dibonceng dengan motor matic. Ketika di Jakarta, ia dan Meta sering sekali memboncenginya dengan matic, teman-temannya yang lain juga sama. Hanya saja, ketika ia bersama Dirga, itu membuatnya merasa asing dan berjarak. Memang kenyataannya, diantara mereka sudah ada jarak.

"Ini motornya Kinan," kata Dirga seolah berhasil membaca apa yang ada dipikiran Lala.

"Oh, nggak nanya," sahut Lala pendek. Dalam hati sebenarnya ia penasaran kenapa Dirga bisa menggunakan motor perempuan itu. Atau seharusnya Lala bertanya saja? Toh suasana menjadi hening beberapa detik dan hanya deru kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka yang menjadi backsoundnya.

"Ko--"

"Gue minjem motornya Kinan selama di sini."

Lala otomatis membungkam rapat bibirnya. Enggan untuk kepo lebih jauh. Untuk itu, dirinya hanya duduk diam sambil memeluk kedua lengannya sendiri erat-erat karena angin sore yang kian berembus makin kencang.

"Sebenernya lo mau bawa gue kemana? Katanya mau ngobrol."

"Nanti juga lo tahu."

"Tapi gue mau tahunya sekarang, nggak nanti." Lala gemas sendiri. Ia sampai harus mencondongkan tubuhnya sedikit ke dapan demi suaranya bisa sampai di samping helm, telinga lelaki itu.

"Nggak sabaran banget, sih. Bentaran lagi nyampe ini."

"Ihh!" Lala akhirnya memilih diam dan memandangi jalanan yang mereka lewati. Langit makin sore dan ia tidak tahu kemana Dirga akan membawanya pergi

*

Lampu jalanan mulai menyala satu persatu ketika motor Dirga sampai pada sebuah bangunan besar. Matanya masih jelalatan kesana kemari mencari petunjuk dimana mereka sebenarnya berada saat ini.

"Ini pelabuhan." Dirga bersuara seolah menjawab pertanyaan yang ada di kepala Lala. "Yuk."

Dengan kepala yang kosong, Lala mengikuti saja Dirga yang sudah masuk ke dalam. Bangunan ini cukup luas dan megah. Ada banyak hal disini mulai dari pameran hingga kuliner. Dirga membawa mereka ke lantai dua gedung. Sebuah tempat outdoor dengan rumput sintetis dan semburat cahaya oranye dari ufuk barat.

Angin berembus cukup kencang, menerbangkan anak-anak rambut Lala. Untungnya dirinya memakai jaket, jadi masih bisa meghalau udara dingin yang menyelinap masuk sampai membuat bulu kuduknya meremang.

"Yah, kita ketinggalan sunset." Suara Dirga terdengar penuh penyesalan.

Lala menolehkan kepala ke arah barat, tempat matahari terbenam. Dan benar saja, hanya sinar oranye nya saja yang tertinggal. Tinggal menghitung detik, matahari tersebut sudah sepenuhnya tenggelam dari peradaban.

ILUNGA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang