Jangan lupa vote dan komennya~
Happy Reading!
Mahesa sudah menghubungi Lala mengenai waktu dan tempat pertemuan mereka di hari minggu ini. Pun Lala juga sudah mempersiapkan jawabannya. Semoga keputusan ini adalah yang terbaik. Dirinya masih tidak tahu apakah ini merupakan hal yang didasarkan dari lubuk hatinya yang terdalam atau hanya rasa simpati sesaatnya.
Hari ini matahari bersinar begitu cerah. Burung-burung beterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya, bercengkrama dan saling sahut-menyahut siulan yang merdu. Lala terduduk di sofa balkonnya sambil memandangi awan putih yang berarakan mengikuti embusan angin pagi. Ponsel yang ia letakkan di meja kecil sebelahnya bergetar dalam mode muted. Lala tipikal orang yang tidak suka diinterupsi dengan kebisingan. Untuk itu semua notifikasi dalam ponselnya dalam kondisi muted dan hanya akan berdering atau bersuara ketika ia mengeset alarm.
Nama Dirga muncul di layar. Ia tidak tahu ada kepentingan apa lelaki itu sepagi ini sudah menghubunginya. Tidak langsung mengangkat panggilan tersebut, Lala sengaja membiarkan ponselnya bergetar cukup lama hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo,"
"Halo, La. Lo lagi dimana? Ngapain? Sibuk nggak?"
"Satu-satu, dong, Ga."
Dirga tertawa pelan dari sambungan seberang. Kemudian ia terdiam mendengarkan jawaban dari Lala. "Gue di rumah. Lagi nggak ngapa-ngapain, sih. Kenapa?"
"Jemput gue di stasiun, dong. Dah di Jakarta, nih gue."
Kening Lala berkerut. Otaknya seperti baru saja mengulang perkataan Dirga beberapa detik lalu yang menyatakan bahwa lelaki itu telah di Jakarta. Hal ini membuat pikirannya kosong seketika. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain bahwa Dirga sudah di Jakarta dan lelaki itu minta Lala untuk menjemputnya. Sekarang?
"Sekarang?"
Bodoh. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Jika Dirga meminta ia untuk menjemput lelaki itu di stasiun tentu saja maksudnya adalah sekarang.
"Iya, lah. Lo mau gue nunggu di sini sampai besok?"
"Emang harus banget gue yang jemput? Adik lo? Nyokap? Siapa kek gitu. Jangan gue."
Iya, jangan Lala. Karena Lala hari ini sedang ada janji. Tentu saja ia tidak ingin acaranya batal hanya dikarenakan ia harus menjemput Dirga di bandara. Lagipula kenapa harus dirinya jika lelaki itu masih ada orang lain yang sekiranya bisa lebih diandalkan untuk menjemput. Pun Lala tidak ingin jika semua rencananya hari ini hanya akan sia-sia karena kepulangan Dirga.
"Adik gue lagi kencan, nyokap nggak bisa dihubungin." Ada jeda hening beberapa saat sebelum kemudian Dirga melanjutkan perkataannya, "Tapi kalau lo nggak bisa, yaudah nggak apa-apa. Sorry ngerepotin."
Dirga sudah hendak menutup teleponnya ketika Lala tiba-tiba menyahut. "Oke, tunggu sebentar."
Lala bodoh. Dia ingin lepas dari masa lalu dan mulai meninggalkannya begitu saja, tetapi karena otak bodohnya dan hatinya yang masih ingin mengulang cerita yang sama, kalimat persetujuan itulah yang membuatnya sekarang berada di peron tempat penantian.
"Lo dateng?"
"Menurut lo? Lo yang nyuruh gue ke sini, by the way."
Dirga mulai berjalan memimpin keluar stasiun menuju parkiran sambil menampilkan deretan gigi putihnya.
"Gue nggak maksa lo."
Lala kesal tentu saja mendengar jawaban dari lelaki itu. Secepat kilat Lala menuju mobilnya tanpa perlu mempedulikan Dirga yang sudah duduk di kursi penumpang sebelahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ILUNGA √
RomanceBudayakan: FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA [Sequel BESIDE ME] Katanya kalau sudah hancur, masih bisa diperbaiki. By the way, ini hati, bukan perabotan yang masih bisa diakali untuk bisa utuh kembali. Katanya kalau terlambat, masih bisa diulang lagi. B...