Gue Rama. Umur 52 tahun. Profesi dokter spesialis kulit dan kelamin.
"Sorry, saya nggak bisa melakukan itu di rumah sakit." tolakku dengan sopan, ketika pasien wanita yang sedang kutangani menurunkan roknya.
"Tapi Dokter, saya ingin." balasnya mengiba, merapatkan tubuhnya padaku.
Gue pun mendorong mundur bahunya. "Silakan kenakan kembali pakaian Nona! Masih ada antrian pasien yang menunggu."
Cewek yang usianya akhir dua puluhan itu pun mengenakan kembali pakaiannya dengan jengkel. Sedang gue menyibukkan diri membaca catatan medis pasien berikutnya. Sesekali mataku mencuri pandang ke arah dadanya, yang barusan kunikmati. Dia lumayan cantik terus terang! Kulitnya kuning langsat dan rambutnya panjang bergelombang. Sayang, ia sedang menderita penyakit kelamin. Kalau sudah sembuh nanti, boleh lah gue main-main dengannya barang satu-dua kali. Untuk sekarang, akal sehat gue masih menghalangi.
"Selamat siang, Dok!" sapa pasien wanita, yang baru saja memasuki ruang praktikku. Untuk memeriksakan kulit wajahnya yang iritasi karena penggunaan kosmetik.
🐰
Seusai praktik, gue makan malam di restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Biasanya gue masak sendiri, tapi kalau sedang malas, makan di restoran atau take away. Family man banget, ya, gue? Sayang, nggak punya istri. Bukannya mengeluh, cewek-cewek itu yang rugi nggak punya suami sekeren gue 😎
Lagi, handphone yang kuletakkan di atas meja bergetar. Dilihat dari notifikasi yang tampil di layar, pesan itu berasal dari pacarku. Gue pun kembali menyantap hidangan dengan nikmat. Kalau saja pesan itu berasal dari rumah sakit tempat gue bekerja, pasti akan kujawab!
Well, bukannya gue nggak mau menjawab pesan dari pacarku. Masalahnya, dia bikin gue muak. Cewek yang baru kupacari selama seminggu, eh, delapan hari? Eh, berapa, ya? Ngambek gara-gara telat kujemput. Padahal gue sudah minta maaf dan menjelaskan bahwa keterlambatan tersebut terjadi akibat masih adanya antrian pasien. Tapi dia nggak mau tahu.
"Permisi. Maaf, meja lain penuh. Boleh saya duduk disini?" sapa wanita muda berambut coklat.
Gue pun tersenyum, mempersilakannya untuk duduk di kursi kosong seberang. Dia seumuran dengan pasien gue tadi siang. Kulitnya sama terang dan wajahnya jauh lebih cantik. Rambutnya panjang sebahu.
"Baru pulang kerja, ya?" tanyaku ramah.
Gadis itu tersenyum manis dan menjawab singkat.
"Saya Rama. Kamu?" Gue mengulurkan tangan.
"Mega." Dia menyambutnya.
Gue lantas memancing obrolan, hingga orang lain yang melihatnya pasti mengira bahwa kami adalah dua sahabat karib. Oh, gue sangat mensyukuri bakat ramah yang diturunkan oleh kedua orang tuaku. Dengan mudah gue bisa menarik minat lawan bicara.
"Ya ampun, udah jam segini!" serunya, terkejut sendiri mendapati waktu yang ditunjukkan jam tangan di pergelangannya.
Wajar, dari layar handphone yang kembali menyala, dapat gue lihat saat ini sudah pukul setengah sebelas malam.
"Aku pulang duluan, ya?" katanya, bangkit dari kursi.
"Aku antar!" Gue menyusul berdiri.
"Eh, nggak usah." sahutnya, sungkan.
"Udah malam, nggak baik perempuan pulang sendirian." balasku.
Akhirnya kami sepakat untuk meninggalkan mobilnya di restoran, dan mengantarnya pulang dengan mobilku.
🐰
Mega tinggal di sebuah apartemen kelas menengah. Beralasan perlu tahu dimana unitnya agar dapat menjemputnya besok, ia pun mengizinkanku mengantarnya ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...