"Papa kenapa bisa kena serangan jantung? Sejak kapan papa punya penyakit jantung?" tanyaku, yang baru saja tiba di rumah sakit tempat papa dirawat.Siang tadi, Teh Jani meneleponku, mengabariku bahwa papa mengalami serangan jantung di kantor. Padahal papa nggak memiliki riwayat penyakit jantung. Asupan makanan keluarga kami juga sehat. Begitupun dengan pola hidup kami. Keluargaku teratur berolah raga minimal seminggu sekali.
"Kata dokter, nggak perlu punya riwayat penyakit jantung untuk terkena serangan jantung, Ram." jawab Teh Sinta.
Gue duduk di seberangnya, menggenggam satu tangan papa yang sedang tertidur. Wajah papa tiba-tiba terlihat begitu renta dimataku.
"Ini gara-gara kamu, Ram! Kalau saja kamu mau menggantikan papa di kantor, papa nggak akan kecapekan sampai kena serangan jantung." tuding Teh Jani, membuatku menoleh ke arahnya.
"Jani!" tegur Teh Sinta.
"Memang benar kan, Teh? Kalau saja Rama nggak egois, dengan lebih memilih menjadi dokter daripada membantu papa mengurus perusahaan keluarga. Papa nggak akan seperti ini." balas Teh Jani.
"Jani, cukup, nanti papa terbangun." balas Teh Sinta.
"Kenapa sih, Teh? Kenapa semua orang selalu manjain cowok egois ini?" balas Teh Jani. "Dia aja nggak peduli keluarga kita jadi sedih setiap kali statusnya sebagai bujang lapuk dijadikan olok-olok di acara keluarga besar! Bahkan setelah papa mengancam nggak akan memberinya warisan, dia masih egois untuk nggak ingin menikah."
🐰
Gue membantu papa meminum segelas air putih, usai menyuapinya makan siang. Mama sedang pulang untuk beristirahat. Ini hari ketiga papa dirawat di rumah sakit.
"Kamu nggak kerja, Ram?" tanyanya.
"Lagi libur." jawabku, sembari memijat lengannya.
"Libur apa tengah tahun begini?" balasnya, terdengar heran.
"Libur semesteran atuh, Pa." jawabku asal.
Papa memukul kepalaku. "Sadar diri atuh, Ram. Kamu teh sudah tua, nggak pantas lagi jadi mahasiswa."
Sigh! Gue berusaha mengabaikan sikap kasarnya. Dengan tekun memijat tangan serta kakinya. Gue baru sadar, bokap tambah kurus. Mungkin salahku juga, yang jarang pulang ke rumah. Setelah ini, gue akan lebih sering menjenguk mereka.
"Kamu pulang sana! Kasihan pasienmu kalau kamu kelamaan cuti." titah yang mulia papa.
"Biarin aja atuh, Pa. Anggap aja azab buat mereka sebagai pendosa." jawabku.
Bukannya setuju, papa malah kembali memukul kepalaku. Heran deh, nggak sayang sama kepala anak sendiri!
"Maneh teh kalau ngomong jangan ngawur!" tegurnya. "Gimana dengan pasienmu yang ibu rumah tangga dan anak-anak, yang tertular dari suaminya. Gimana dengan remaja yang sakit karena tersesat dalam pergaulannya? Mereka kan nggak berdosa, Ram. Mereka nggak pantas mendapatkan azab!" ceramahnya, membuat mataku berkaca-kaca.
Sial, gue terharu cuma karena omongan orang tua renta ini!
"Masih ada dokter lain di rumah sakit, yang bisa mengobati mereka. Tapi papa Rama cuma satu." balasku, mengingkari hati nurani.
Maksudku, ya, gue memang merasa bersalah udah ninggalin tugas. Tapi papaku juga penting. Ya kan?
Namun papa malah mendengus. "Sana pulang! Papa nggak butuh kamu disini. Mana pijatanmu nggak seenak mamamu."
"Papa tega ngomong gitu? Memangnya papa nggak kangen Rama?" balasku menatapnya.
Kenapa gue jadi lebay kayak Teh Jani dan mama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...