08. Hilangnya Pasien

834 15 0
                                    

"Hey!"

Hampir pukul delapan gue baru tiba di kantor Mega. Tadi sore ia mengalami musibah, mobilnya mogok saat melakukan perjalanan pulang dari bank menuju kantor. Dan gue menawarkan diri untuk menjemputnya sepulang kerja. Namun tiba-tiba muncul seorang pasien di bagian Instalasi Gawat Darurat, korban kecelakaan lalu-lintas. Yang seharusnya bukan menjadi tanggung-jawabku seandainya ia tidak mengidap HIV.

"Sorry, bikin kamu nunggu lama." ucapku sambil mengecup kedua pipinya.

Seharusnya dia pulang dengan taksi online saja, daripada menungguku berjam-jam. Karena HP-ku mati, jadi aku tidak sempat menghubunginya untuk memberitahu perihal urgensiku. Niatku mampir ke kantornya sebelum pulang hanya untuk memastikan bahwa ia sudah tidak ada disana. Nyatanya Mega masih menantikan kehadiranku di lobby, lengkap dengan segelas kopi yang menemaninya.

"Kamu nggak apa-apa? Lagi banyak, ya, pasiennya?" balasnya, malah mengkhawatirkan kondisiku.

Damn, bukannya menjawab keterlambatanku dengan omelan, dia malah tampak begitu pengertian dan sabar. Apa memang seleraku terhadap perempuan yang kurang bagus, sehingga kebanyakan pacarku manja dan tak sabaran? Sehingga bertemu dengan wanita seperti Mega adalah kejadian langka dalam hidupku. Yang hanya terjadi sekali dalam 50 tahun.

"Mau makan malam di apartemen atau mampir di restoran?" tanyaku pada Mega yang berjalan disebelahku meninggalkan lobby.

Dia menerima alasan keterlambatanku dengan sangat baik. Dan meski kutahu dia sangat lelah, namun masih menawarkan diri untuk membuatkanku makan malam di apartemennya.

"Tapi kalau kamu keburu lapar, kita mampir di restoran aja, Sayang." imbuhnya.

Sambil tersenyum ke arahnya aku menjawab, "Aku ingin makan sop buatanmu, Meg. Dingin-dingin gini, enak kali, ya, makan yang berkuah?"

Sambil membalas senyumku ia menyandarkan kepala di pundakku, memeluk sebelah lenganku.

"Sambil minum wedang jahe pasti enak banget!" sahutnya. "Sayang, aku nggak punya bahannya di dapur."

🐰

Setiba di rumah sakit, gue dibuat kebingungan. Pasien yang sudah tiga minggu kurawat, menghilang dari ruang inapnya. Padahal beberapa hari lagi ia akan menjalani operasi usus besar.

Oh enggak, gue nggak beralih profesi jadi dokter spesialis kanker. Masalahnya, pasien tersebut adalah pengidap HIV.

"Jadi, kemana pasien gue?" tanyaku pada Sasa.

"Pulang, Dok." jawab Sasa.

"Ya, gue tahu dia pulang, Sasa. Kalau enggak, dia masih di kamar inap sekarang." balasku senewen.

Sasa menundukkan kepala sambil meremas-remas tangannya resah. "A-anu, Dok. Tadi Bu Manajer merujuknya ke rumah sakit lain. Soalnya peralatan kita kurang lengkap, Dok."

Gue mengumpat. Sejak kapan rumah sakit dengan embel-embel internasional kekurangan peralatan? Buru-buru gue mendatangi ruangan manajer, dengan Sasa yang mengekor di belakangku.

"Omong kosong apa itu? Peralatan tidak lengkap? Come on, Dina!" ucapku usai menerobos ruangan manajer.

"Dokter Rama? Maaf, saya tidak sempat memberi tahu Dokter lebih dulu kalau--" balasnya terputus.

"Jadi, apa alasan yang sebenarnya?" tanyaku tak sabar.

"Dana talangan dari Pemda tidak cukup untuk menutup biaya peralatan yang mesti kita musnahkan, hanya demi melakukan satu operasi." jawab Dina.

"For God Sake, dia sudah berminggu-minggu kesakitan, Dina. Tinggal dua hari lagi dia siap dioperasi." balasku.

"Mas Rama ngertiin juga, dong! Buat ganti peralatan yang nggak bisa dipakai lagi sudah mahal. Belum lagi, ruang operasi nggak bakalan bisa dipakai untuk sementara waktu karena harus disterilkan lebih dulu. Berapa banyak jadwal operasi yang mesti kita cancel hanya demi satu orang pasien?" balas Dina, tak kalah emosional.

Gue mengumpat. Karena sadar bahwa biaya operasi untuk pasien ODHA memang sebesar itu. Cukup menyiapkan dokter yang handal dan obat-obatan untuk menyembuhkan pasien normal, namun bagi pasien ODHA agak lebih rumit. Persis seperti yang Dina sampaikan.

Lalu kataku, "Lo bisa potong gaji gue kayak biasanya."

"Gaji Mas Rama bulan ini juga tinggal dua puluh ribu perak, kalau Mas mau tahu. Aku udah cek ke bagian keuangan." sahutnya.

Sasa menahan tawa di belakangku. Kuso, kenapa gaji gue habis disaat yang tidak tepat?

"Sebelum memikirkan orang lain, Mas Rama pikirin juga dong, nasib Mas Rama sendiri. Kalau tiap bulan gaji Mas dipotong buat bayar biaya pengobatan pasien, terus Mas makan apa?" Dina menasehati.

"Makan nasi uduk." jawabku, sambil memutar tubuh. "Ayo kita sarapan di kantin, Sa!"

"Ditraktir, Dok? Asik!" seru Sasa, yang kembali mengekoriku meninggalkan ruang manajer.

🐰

"Hai!" ucapku, setibanya di apartemen Mega.

"Aku kaget kamu bilang mau kesini. Nggak biasanya hari kerja kamu main." jawabnya, mempersilakanku masuk.

"Aku bawain kamu wedang jahe." Gue mengulurkan plastik kresek ke arahnya.

Sambil berkaca-kaca ia menerima pemberianku. Dan mengecup bibirku agak lama sebelum pergi ke dapur.

🐰

"Kenapa wajahmu murung?" tanyaku pada Mega yang duduk di hadapanku, menyantap makan malam bersama.

Dia manis, terus-terang. Sering bawain gue makanan untuk sarapan atau makan malam. Kasihan kalau gue kelaparan, katanya. Seperti hari ini, dia tiba-tiba muncul di apartemeku. Membawakan beberapa masakan buatannya sendiri. Yang tak pernah gagal membuat lidahku bergoyang.

Bukannya menjawab, Mega malah berhenti menyuap makanan. Kedua telapak tangan ia gunakan untuk menutupi wajah. Ia menangis. Gue pun bangkit dari kursi dan memeluknya.

"Aku nggak bisa nolak nikah sama Jerry." katanya.

"Lalu?" tanyaku, nggak ngerti dimana letak masalahnya. Wajar kan kalau dia menikah dengan pacarnya?

Mega sempat bercerita di minggu pertama kami bersama, bahwa dia sudah berencana menikah dengan Jerry.

Ia mengangkat tangan yang menutupi wajahnya, menatapku kesal. "Aku cinta sama kamu, Ram. Kenapa masih tanya?"

"Kamu nggak mau nikah sama Jerry?" tanyaku, setelah sempat terpaku mendengar pernyataannya.

"Aku udah coba batalin, Ram. Tapi nggak bisa. Orang tuaku yang jodohin aku sama dia." jawab Mega.

"Lho, kalian bukannya pacaran?" tanyaku bingung.

"Ya, aku pacaran sama dia karena dijodohin!" jawabnya.

"Oh...."

"Bapak mengancam, nggak akan anggap aku anak lagi kalau menolak menikahi Jerry." tuturnya.

Ckck, cewek malang! Gue pun mengecup pelipisnya. Mengusap kepala dan lengan, menenangkannya.

"Yang sabar, ya! Jerry kelihatannya baik." kataku, yang satu kali pernah nggak sengaja bertemu pria itu di apartemen Mega.

"Tapi aku cintanya sama kamu, Ram." balasnya, menatapku sedih.

Kalau aja gue punya perasaan yang sama....

🐰

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Berikan vote dan komentar, agar penulis juga dapat berkembang.

Rama dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang