Bab 28

399 9 2
                                    

"Oh, maaf!" Seorang pria tak sengaja bertabrakan denganku, sekembalinya gue dari toilet.

"It's okay." jawabku, tersenyum simpul.

Gue pun hendak meneruskan langkah menuju mejaku, jika saja ia tak menyerukan namaku.

"Om Rama?" sapa lelaki yang ternyata adalah Jerry. "Om Rama apa kabar? Lama kita nggak bertemu!" lanjutnya, menjabat tanganku. "Terakhir, waktu Om membantu mengantarkan Mega ke rumah sakit menjelang persalinan. Saya belum berterima kasih dengan pantas waktu itu. Tapi, kita nggak pernah bertemu lagi."

"Saya baik, Jerry." balasku, tersenyum simpul. "Bagaimana kabarmu dan--keluargamu?" lanjutku berbasa-basi.

"Saya baik, Om. Mega dan putri kami juga sehat. Sudah satu tahun usianya. Kami memberinya nama, Rima." jawab Jerry, tampak bangga sekaligus bahagia.

"Selamat, ya, Jer. Kamu pasti makin bahagia sekarang." kataku, mengusap lengannya.

"Lebih dari bahagia, Om." jawabnya. "Oh, sial! Saya harus buru-buru ke kamar mandi. Om harus mengunjungi rumah kami kapan-kapan, oke?" ucapnya sebelum pergi.

Gue mengambil napas dalam sebelum meneruskan langkah menuju meja yang kutinggalkan. Ada Putri disana, yang menungguku untuk menyantap hidangan penutup. Dan sialnya, hanya berjarak dua meja dari kami, duduk Mega seorang diri. Malam ini rambutnya disanggul. Mengenakan gaun hitam tanpa lengan, berkerah rendah, dengan tali di belakang leher. Buru-buru gue mengalihkan tatapan ketika ia menoleh.

"Terima kasih sudah menunggu, Put. Selamat makan." kataku sembari mengulas senyuman.

"Tertarik minum wine? Tadi aku sempat chatting dengan Gadis. Dia bilang, anggur di tempat ini enak." tanya Putri, saat kami hampir selesai menyantap hidangan penutup.

"Gadis pernah minum wine?" tanyaku heran.

Masalahnya, sahabatku itu penganut agama yang cukup taat. Dan dalam agama kami, minuman yang memabukkan, terlarang untuk dikonsumsi. Gue ingat saat kami masih sama-sama tinggal di Jepang, selama musim dingin ia menolak untuk meminum sake sebagaimana kawan-kawan yang lain. Dan ia satu-satunya teman yang menyetok jahe sebagai pengganti sake, guna meracik minuman penghangat tubuh. Kalau sedang kangen rumah, gue biasa meminta secangkir minuman hangat tersebut darinya. Malah, kiriman jahe yang kudapat dari mama, seringkali kuberikan padanya.

"Satu kali, katanya. Dijebak Boy." jawab Putri.

Sembari jariku membersihkan noda krim di sudut mulut Putri, gue tersenyum geli.

"Kalau begitu, penilaiannya nggak akurat, Put. Dia nggak punya pembanding." jawabku.

"Benar juga, ya?" sahutnya, baru tersadar. "So, shall we go home?"

"Sure!" balasku.

"Err, wait, I think I need to pee." ucapnya, sebelum berjalan terburu-buru menuju kamar mandi.

Sambil menunggunya, gue membalas senyuman wanita yang duduk di depan sana. Berambut pirang, cukup cantik, sayangnya tidak menarik minatku. Sial sekali, tatapanku malah kembali bertemu dengan Mega, yang sedang melalui makan malam romantis dengan suaminya.

"Astaga, Putri, kenapa lama sekali?" gumamku seorang diri.

Sejujurnya ia pergi mungkin baru beberapa menit. Tapi gue sudah tidak sabar untuk meninggalkan restoran ini. Tidak ingin berlama-lama berada dalam satu ruangan yang sama dengan Mega. Ya, gue sadar ini aneh banget. Nggak biasanya gue nervous hanya karena bertemu mantan. Bukan gayaku. God, sepertinya memang ada yang salah dengan otakku. Gue mengingat-ingat, apa belakangan kepalaku pernah terbentur sesuatu?

Gawai yang kutaruh di atas meja bergetar, menunjukkan adanya satu pesan masuk, dari Mega. Ya, sialnya gue juga tidak menghapus atau memblokir kontak wanita itu.

183

Gue menoleh ke arahnya, lalu kembali membuang muka. Kuabaikan pesan itu. Namun dari sudut mata, Mega nampak bangkit dari meja lalu pergi.

Sungguh, yang gue inginkan hanya kemunculan Putri. Segera. Lalu kami dapat meninggalkan tempat ini untuk selamanya. Namun bayangan wanita itu tak kunjung pergi dari kepalaku. Sambil merutuk dalam hati, gue pun meninggalkan restoran, turun ke lantai delapan belas.

🐰

"Ada apa, Meg? Katakan dengan cepat!" kataku, membuka pintu kamar yang tak terkunci.

"Siapa perempuan itu? Pacar barumu?" balas Mega, yang duduk di tepi ranjang.

"Bukan urusanmu. Katakan saja apa keperluanmu!" balasku.

Ia bangkit dari atas ranjang. Lalu mendorong dadaku hingga kakiku mundur selangkah.

"Bukan urusanku?" katanya marah. "Aku udah bilang, aku nggak suka lihat kamu sama perempuan lain!" teriaknya.

Gue membuang muka sesaat sebelum kembali menatap kemarahannya. "Kamu sadar nggak sih, Meg? Kamu aja tidur dengan Jerry. Kamu istri Jerry. Lalu apa hakmu melarangku bersama dengan perempuan lain?"

Ia memukuli dadaku dan gue membiarkannya. Hubungan diantara kami sudah berakhir. Bahkan tidak pernah dimulai. Yang ada diantara kami sejak awal hanyalah perselingkuhan. Yang tidak ada masa depannya. Hubungan terlarang seperti itu, akan stuck, tidak berjalan kemana-mana. Yang sudah-sudah, hubunganku dengan wanita bersuami hanya berlangsung sehari atau semalam. Bukankah sudah luar biasa, kami menjalin affair berbulan-bulan lamanya?

Tiba-tiba tangannya melingkari leherku. Dan kakinya melingkari pinggangku. Bibirnya yang telah lama tak kusentuh, mencium kasar bibirku. Kuso, tanganku dengan refleks meremas bokongnya. Lidahku tergoda untuk membelit lidahnya. Menghisap manis bibirnya.

"We need to stop." kataku, di sela napas yang memburu.

Namun ia malah menarik kedua sisi kemejaku hingga kancingnya berhamburan ke atas lantai. Dengan cepat tangannya membuka ikat pinggang, membuka kancing dan menarik turun resleting celanaku. Chikuso!

Gue membaringkan tubuhnya ke atas ranjang, berniat untuk merapikan kembali pakaianku. Namun, sepertinya Mega sudah kehilangan kewarasannya, hingga ia merobek pakaiannya sendiri. Tangannya menarik turun tubuhku hingga menindihnya. Kami pun kembali berciuman dengan penuh hasrat.

🐰

Rama dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang