12. Ultimatum Papa

566 12 0
                                    

"Assalamu'alaikum Ma," Gue mengangkat telepon dengan mata terpejam.

"Wa'alaikum salam. Aa, ini sudah pagi, cepat bangun! Sholat subuh, Aa! Astaghfirullah.... Aa kapan bisa sholat jamaah ke masjid sih?" Mama memulai kultumnya.

Kuletakkan hape di atas nakas, membiarkan mama mengomel panjang lebar. Kuambil wudhu, lalu hendak memakai sarung untuk menunaikan sholat subuh dua rakaat. Chikuso, celanaku basah!

Kembali gue masuk ke kamar mandi. Melucuti pakaian lalu berdiri di bawah shower yang mengalirkan air dingin. Satu tanganku meraih botol shampoo, menuangnya ke telapak tangan lalu mengusapnya ke rambut hitamku. Mimpi basah membuatku harus mandi besar.

Ya, kalian nggak salah dengar, gue mimpi basah semalam. Tentu saja karena belakangan gue kehilangan minat untuk get laid. Lagipula, sejak putus dari Mega, gue belum memperoleh gantinya. Jadi biarlah mimpi basah menjadi sarana pelepasan alamiku.

Ya, kalau mau ikut kodrat seperti kata Leo, sebetulnya kebutuhan seksual pria diciptakan sepaket dengan mimpi basah. Jadi nggak have sex pun nggak apa-apa. Masalahnya, manusia itu tamak dan nggak sabaran. Seperti gue, hehe.

"Aa? Halo?" panggil mama.

Kembali kuraih gawai usai menunaikan sholat subuh.

"Iya?" sahutku sembari berdandan di depan cermin.

"Aa teh udah sholat, belum?" tanya mama.

"Udah, Ma." sahutku.

"Benar, sudah? Kok lama? Aa tidur lagi, ya? Ngaku!" tuduhnya.

"Aa mandi dulu tadi." jawabku.

"Nah, gitu dong. Itu baru anak mama." balasnya.

Gue berasa masih umur lima tahun mendengarnya.

"Aa teh jangan lupa sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. Ngarti?" lanjutnya.

"Iya. Ya udah, Rama sarapan dulu. Assalamu'alaikum. " jawabku.

"Wa'alaikum salam. Aa!"

"Ya, Ma?"

"Ini, papa teh punya pesan buat Aa."

"Ya?"

Tumben-tumbenan papa mengirim pesan lewat mama!

"Kata papa, kalau Aa nggak menikah, Aa nggak akan dapat warisan." kata mama, membuatku melotot seketika.

"Nggak bisa gitu dong! Itu kan hak-nya Aa!" protesku. "Bentar, itu pesan dari papa atau dari mama?" lanjutku, curiga. Nggak biasanya papa mengatur-ngatur hidupku.

"Papa, atuh. Aa teh jangan menuduh mama yang bukan-bukan!" jawab mama, tersinggung.

Lalu telepon berakhir setelah gue menjawab salam penutup dari mama yang ngambek.

Dengan lesu, gue beranjak ke ruang makan, sambil memikirkan nasibku tanpa warisan dari papa. Ya, bukannya gue bakal jadi miskin dengan hanya mengandalkan gaji sebagai dokter. Hanya saja, gue harus merubah gaya hidup yang telah bertahun-tahun kujalani. Dengan subsidi dari papa, gue punya akses unlimited terhadap uang. Makanya gue bisa tinggal di apartemen mewah, pakai barang-barang branded, nraktir pacar-pacar gue, liburan ke luar negeri, gonta-ganti mobil, party-party,.... Tanpa subsidi dari papa, gue mungkin nggak bisa seenaknya nraktir pacar. Jelas dong, mendingan duitnya buat mencukupi kebutuhan diri sendiri! Mana cewek-cewek cantik butuh biaya perawatan tinggi.... Intinya, hidupku bakal sesepi biksu suci.

Kumakan roti selai, sarapan miskinku. Mulai hari ini, gue harus membiasakan diri untuk jadi dokter melarat. Paling tidak, gue masih cukup keren karena punya gelar dokter.

Rama dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang