"Hai!" tegur Mega, mengecup bibirku sekilas. "Kamu udah dari tadi?" tanyanya, yang baru saja tiba di restoran tempat kami bertemu kemarin malam.
Gue tersenyum. "Baru satu jam."
Mega tampak menyesal. "Sorry. Kerjaanku selesai lebih lama tadi. Aku mau ngabarin kamu, tapi ternyata kita belum tukeran nomor!"
Gue mengusap punggung tangannya. "It's okay," jawabku setulus hati. "Kamu mau pesan apa? Aku yang traktir." lanjutku.
"Beneran jadi ditraktir? Kalau gitu aku mau pesan yang paling mahal!" katanya.
Gue tertawa, membiarkannya memesan menu yang memang paling mahal seperti katanya.
🐰
"Makasih udah ditraktir." kata Mega, begitu kami tiba di sebelah mobilnya.
Gue mengangguk. "Kamu boleh minta traktir lagi, kapanpun."
Mega tertawa. "Really?"
"Ya." jawabku.
Ia ulurkan kedua tangan merangkul leherku. Gue balas meraih pinggang langsingnya, menarik tubuhnya mendekat hingga kami saling berhimpitan. Matanya memandangiku tanpa kata. Gue pun mengecup bibirnya, mencecap dan menjilat manisnya, membujuknya membuka untukku. Lidah kami bertemu, saling membelit dan menghisap. Gue mendorong mundur tubuhnya hingga punggung Mega membentur mobil. Tangannya naik menjambak rambutku. Gue menghisap lidahnya kuat-kuat, membuatnya mengerang senang. Saat akhirnya gue menarik diri, matanya sudah berkaca-kaca.
"Rama, please...." pintanya.
"Aku nggak bisa sekarang, Sayang." tolakku.
Ia tampak kecewa. Gue jadi nggak tega. Tapi apa boleh buat, besok pagi ada jadwal operasi.
🐰
Sesuai janji, hari Minggu gue membawa Mega ke apartemen untuk dipuja. Setelah memanjakannya dengan ciuman di bibir, gue menciumi leher dan dadanya hingga kehilangan akal. Begitu sadar, jejak-jejak kemerahan telah tertinggal disana.
"Sorry,"
Gue merasa bersalah. Sedikit. Bagaimana pun gue nggak ingin dia mendapat masalah dengan pacarnya, gara-gara ulahku.
Namun, seperti tidak peduli, ia malah kembali menempelkan bibirku ke dadanya. Damn, jangan salahkan gue yang dengan kurangajar memperawani celah sempit di belakang tubuhnya.
"Sakit, Rama." ucapnya, lalu menggigit bibir.
Bukan cuma dia yang kesakitan, gue juga. Ini enak banget, Ya Tuhan.... Dalam setiap gerakanku, tubuhnya merespons dengan cengkeraman yang kuat. Kami pun kembali berciuman. Hingga perlahan, ia kembali nyaman. Dua lenganku memeluk perutnya, menikmati gerak tubuh kami yang seirama. Lalu desahan pertamanya terdengar, membuat gerakanku semakin liar.
"Oh, Tuhan, Rama...."
Napasnya masih tersengal saat kami ambruk ke atas ranjang, kelelahan usai meraih puncak.
"Aku nggak pernah tahu rasanya sehebat itu." katanya.
Gue terkekeh. "Berarti kamu kurang sering bercinta."
Ia menepuk lenganku, memprotes. "Bukan." balasnya. "Menurutku karena orangnya."
Gue memiringkan kepalanya, membuat kami saling bertatapan. Menanyainya tanpa kata.
"Kutebak, rasanya beda-beda untuk setiap orang. Dan meski nggak punya cukup pembanding, tapi aku yakin, kamu dewa."
Gue pun tertawa mendengar sanjungannya yang berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...