Tiba hari Selasa, pesta resepsi pernikahan Sheila digelar. Seperti biasa, gue datang seorang diri. Bukan karena nggak ada pasangan yang bisa menemani, emang dasarnya males ngenalin cewek yang cuma akan singgah untuk sementara dalam hidupku.
"Kamu disini?" ucapku terkejut, mendapati Mega berdiri di depan pintu unit apartemenku.
"Aku bawain sarapan buat kamu." jawabnya tersenyum, sembari menunjukkan paper bag di tangan.
Gue mempersilakannya masuk. Membiarkannya menata hidangan di atas meja makan, selagi gue berpakaian. Mega datang saat gue baru saja selesai mandi.
"Enak." kataku, usai menelan nasi uduk yang dibawakannya. "Kamu masak sendiri?" tanyaku.
"Iya. Kamu suka nggak?" jawabnya.
"Suka." sahutku, membuatnya tersenyum.
Kami pun sarapan sembari ia bercerita tentang teman sekantor yang membuatnya kesal. Dengan senang hati gue mendengarkan keluhannya. Selesai makan, ia mengambil piring kotor untuk dicuci. Gue membantu mengeringkannya.
"Makasih, ya!" kataku, mengecup bibirnya.
Mega mengalungkan dua tangannya di leherku. Gue pun menarik tubuhnya merapat. Menyambut bibirnya yang berwarna maroon hari ini.
Rencanaku hanya sampai disana. Namun tanpa terduga Mega membuka satu demi satu kancing kemejaku, menggerakkannya turun dari bahu.
"Sayang, aku mau kerja." Gue mau ke Bandung buat menghadiri resepsi Sheila.
"Tanganmu, Rama!" titahnya.
Gue mengambil alih sisi kemeja dari tangannya. "Besok Minggu aja, ya?"
Mega nggak menjawab, namun tangannya bergerak melepas kancing kemejanya sendiri. Membuang sehelai kain itu ke atas lantai. Disusul oleh kamisol dan bra berenda yang cantik. Mimpi apa gue semalam? Pagi-pagi disuguhi pemandangan indah yang memanjakan mata.
"Kamu nggak mau ini?"
Atau justru menggoda iman? Ya Tuhan, gue ini mau kondangan, Ya Tuhan. Dapat kubayangkan kenikmatan yang akan gue rasakan begitu menguburkan wajah di kehangatan lembah itu. Astaghfirullah, ingat ada janji sama nyokap!
"Oke," Kedua gerakan tangannya di dada terhenti.
Saat kukira ia hendak menyerah, Mega malah melepaskan rok span-nya, terus hingga celana dalamnya tergeletak di atas lantai. Tanpa ragu ia maju, membuat tubuh kami merapat.
"Kamu nggak mau ini?" tanyanya seraya menggerakkan pinggul naik turun, menggesek gairahku.
"Besok Minggu, ya?" bujukku.
Sebagai jawaban, ia menarik turun resleting celanaku. Mengulurkan tangan masuk dan seketika dapat kurasakan sentuhan lembut jemarinya di kulitku.
"Kamu mau aku, Rama." umumnya, sembari menyentuh ujungku, membuatku mendesis.
Aku menyebut nama Tuhan ketika ia membebaskan gairahku. Melingkupinya dengan jemari yang lembut, yang dengan lihai membelai dan memberikan tekanan-tekanan.
Nafsu dan logika gue bertarung hebat. "Sayang, aku harus bekerja."
Gue menggertakkan gigi, menahan keinginan untuk menyuarakan kenikmatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...