"Pagi, Dokter Ganteng!" sapa Greyana begitu gue tiba di bangsal untuk kunjungan rutin.
"Pagi, Grey. Masih belum punya pacar?" balasku sembari memasuki bangsal, untuk memulai pemeriksaan.
Greyana berdecak. "Greya kan pingin jadi istrinya Pak Dokter."
Suster yang mengekor di belakangku, serta pasien yang sedang kuperiksa tertawa mendengarnya. Sedang gue hanya memutar bola mata. Sampai kapan gadis satu ini akan menyerah terhadapku?
Oh, enggak, Grey tidak jelek. Dia hanya bukan tipeku. Gadis ini seperti hidup di dunia novel, dan gue adalah sosok bajingan sempurna yang akan melengkapi kisahnya. Kira-kira, begitulah yang kusimpulkan dari sikapnya terhadapku selama ini. Dia sosok gadis baik-baik, yang berprestasi. Bahkan berhasil lulus dengan cepat dari pendidikan kedokterannya. Dan kini magang di rumah sakit, sebagai juniorku.
"Halo Austin! Apa yang menarik hari ini?" sapaku pada seorang pasien laki-laki berumur delapan tahun.
"Hari ini, Spongebob dan Patrick berburu ubur-ubur." jawab Austin. Bocah itu lantas bercerita tentang serial kartun yang ditontonnya itu. "Sayang, aku tidak bisa ikut." imbuhnya dengan lesu.
Gue mengusap kepalanya, lalu berkata, "Begitu sembuh, kau bisa ikut berburu."
"Benarkah? Menurut Dokter, aku bisa sembuh? Kata Tom, kami akan meninggal." balasnya, antara antusias dan meragu.
"Pasti kau salah dengar, Austin." jawabku. "Tentu saja kau akan sembuh tak lama lagi. Asal kau tidak malas makan. Kudengar, Suster Dewi mengeluhkanmu yang menolak untuk makan tadi malam." imbuhku.
"Tom bilang, percuma kami makan. Toh, kami akan meninggal juga nanti."
"Aku akan menegur Tom nanti, supaya tidak bicara yang bukan-bukan. Dan kau, pastikan kau memakan sarapanmu. Oke?"
Austin mengangguk, membuatku tersenyum bahagia.
"Lagipula, kau harus punya tenaga untuk berburu ubur-ubur, Austin." Grey menyahut.
"Dokter Greya benar." kataku, sekilas melirik gadis itu. Lalu mengangsurkan catatan medis yang kubuat, kepada suster di sebelahku.
"Sebenarnya, daripada berburu ubur-ubur, aku ingin menangkap ikan di sungai." kata Austin.
"Tentu saja kau bisa melakukannya nanti." sahut Greya.
"Bisakah aku pergi dengan Dokter Rama?" tanya Austin tiba-tiba, membuat kami tertegun.
"Wah, itu pasti mengasyikkan sekali, Austin!" seruku seraya tersenyum lebar, mencoba tampak antusias.
"Jadi, kita bisa pergi?" Austin mulai terlihat gembira.
"Tentu saja, Austin." jawabku.
"Apa Dokter pernah berkemah? Maksudku, pasti seru sekali kalau kita mendirikan tenda di pinggir sungai. Lalu membuat api unggun." kata Austin. "Kita juga bisa membuat api dengan batu. Seperti ini." Ia memeragakan cara membuat api dengan menggosok-gosokkan dua kepalan tangannya, seolah-olah itu adalah batu. "Aku pernah menontonnya di film." lanjutnya dengan antusias.
"Ya. Kita akan menangkap ikan. Mendirikan tenda. Membuat api unggun. Karenanya, kau harus lekas sembuh. Oke?" kataku, sambil memegangi kedua lengannya.
Berikutnya, aku meninggalkan Austin, dan beralih untuk memeriksa pasien yang lain. Begitu selesai, kami meninggalkan bangsal. Sama-sama menghela napas dalam-dalam. Berurusan dengan pasien ODHA tidak pernah mudah. Apalagi ketika mendapatkan pertanyaan, apakah mereka bisa sembuh? Mudah saja gue menjawabnya kepada orang dewasa, para penjahat kelamin yang berlangganan memeriksakan diri padaku. Mereka dengan sadar berbuat dosa, dan tahu konsekuensinya. Tapi lain cerita jika penyakit tersebut diderita oleh anak-anak, yang bahkan tidak mengerti bagaimana penyakit tersebut dapat tiba-tiba mereka derita.
Gue tahu, ini nggak lebih berat daripada yang dialami dokter, yang merawat pasien kanker. Setidaknya, pasienku masih akan hidup untuk beberapa lama. Bahkan dapat berbaur di tengah masyarakat dan hidup selayaknya manusia normal.
God, apapun itu, yang namanya sakit tidak pernah enak. Anehnya, kenapa gue memilih tinggal di tengah-tengah orang sakit setiap hari? Haha. Dasar bego, lu, Ram!
"Kebiasaan deh! Calon imamku suka ketawa sendirian." tegur Greya.
"Tertawa itu simbol kebahagiaan, Grey." balasku ngawur. "Kenapa kamu ngikutin saya? Sana, balik kerja!" lanjutku, melambaikan tangan mengusirnya.
Sambil menggerutu, ia pun pergi meninggalkanku.
🐰
"Hai!" sapaku, begitu Mega muncul di pintu masuk gedung apartemennya.
"Rama? Kamu kok disini?" ujarnya terkejut, namun memberiku pelukan erat.
Sambil bergandengan tangan kami memasuki gedung. Menaiki lift menuju unit tempat tinggalnya. Dia tampak letih dalam busana bermotif kotak-kotak. Bahkan bayangan kehitaman muncul di bawah matanya. Beberapa menit kemudian kami pun tiba di unitnya. Ia mempersilakanku untuk masuk, dan bertanya, minuman apa yang kuinginkan.
"Kuharap kamu nggak keberatan dengan donut." ucapku, sembari membuka kotak yang kubawa, yang kini tergeletak di tengah minibar. "Walau kesannya kekanakan sih."
Mega yang duduk di sebelahku sembari menyesap kopi, tertawa, lantas mencomot satu buah donut.
"Aku suka donut." katanya. "Kenapa kekanakan?" tanyanya.
"Ya, terakhir aku makan donut sepertinya kelas V SD." jawabku.
Mega tertawa. Lalu katanya, "Harusnya kamu nggak perlu repot-repot kesini bawa makanan."
"Sorry, belakangan aku sibuk banget, Sayang. Jadi, nggak sempat ke apartemen kamu." imbuhnya sembari membelai pipiku.
"Sepertinya kita perlu mandi dulu. Wajahmu kelelahan, babe." balasku, mengusap lingkaran hitam di bawah matanya.
Ia menutup wajah malu. "Sorry."
"Hey, it's okay."
Gue mengurai tangannya. Lalu mengumpat pelan karena tidak dapat menahan diri untuk melumat bibirnya. Menariknya berdiri dari kursi dan meremas bokong kencangnya.
Gue mengumpat sekali lagi. Lalu tanyaku, "Aku ingin masuk sekali saja, Meg. Tapi pilihan ada di tanganmu. Kalau kamu mau mandi dulu,"
"I want you too." balasnya lalu mengecup bibirku.
Gagal sudah acara makan donut, yang sederhana dan nostalgia, sebagaimana yang kurencanakan di awal. Tampaknya, kue bulat dengan bolongan di tengah itu memang tidak cocok lagi untuk pria seusiaku. Kami lebih menyukai bolongan yang lain. Gila, sekotor itu otakku.
🐰
Tengah malam, begitu gue membuka pintu, tampak Mega telah terjaga dari tidurnya dan sedang mencari-cariku.
"Aku disini, Meg." sahutku, sambil membawa sebaskom air es beserta handuk untuk mengompres.
Ia pun duduk, dengan selimut menutupi dadanya. "Kukira kamu pulang tanpa pamit. Apa itu?"
"Close your eyes!" pintaku.
Sambil tersenyum ia menutup matanya. Menikmati kompres dingin yang kuberikan.
"Kamu selalu penuh perhatian." ucapnya memuji.
"Jangan buru-buru menilai, Meg. Ini cuma sementara, sampai efek klimaks yang tadi hilang. Aku nggak ingin kamu memaki-makiku setelah ini." sahutku.
Dia pun tertawa, menarik tanganku untuk menangkup sebelah payudaranya.
"Sampai kamu bosan." katanya.
🐰
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Berikan vote dan komentar, agar penulis juga dapat berkembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...