05. Putus

1.1K 20 0
                                    

Tanganku sedang diseret kesana-kemari oleh Aluna, ketika gawaiku berbunyi. Usai meninggalkannya di salah satu butik dalam mall, gue pun duduk di kursi sambil melihat pemandangan di lantai bawah.

"Ya, Sayang?"

"Kamu lagi sibuk? Masih di rumah sakit, ya?" tanya Mega.

"Lagi jalan pulang. Kenapa?" balasku.

Namun bukannya menjawab, ia malah menangis. Butuh beberapa lama untuk membuatnya tenang, dan bicara dengan jelas padaku. Bahwa ia sedang bermasalah dengan sejumlah karyawan lain di kantornya.

"Aku capek banget, Ram. Kenapa sih mereka kayak gitu?"

"Sabar, ya. Kamu mau kubawakan makan malam?"

"Ya. Dan bawain aku latte dan cake. Aku mau jadi gemuk malam ini. Dan kamu nggak boleh protes."

Gue tersenyum mendengar rengekan manjanya. Di kejauhan, Aluna mulai mencariku. Buru-buru gue mengakhiri sambungan telepon.

🐰

"Kamu mau ke klinik? Jam segini?" tanya Aluna, dalam perjalanan pulang dari acara belanjanya.

"Aku harus memeriksanya. Kalau-kalau ada kendala disana." jawabku sembari menyetir.

"Emang nggak cukup, apa, kerja seharian di rumah sakit? Sekarang, masih harus ke klinik? Terus, kapan kamu ada waktu buat aku?" Ia mulai merengek.

"Jangan mulai lagi, Luna." balasku, gerah.

"Kamu kerja udah bertahun-tahun, Rama. Apa nggak bisa kamu kurangi kesibukanmu?"

Apa dia sudah gila? Gue masih segar bugar, ngapain ngurangi kerjaan? Meski bukan dokter selebriti, tapi ruang praktikku selalu ramai pengunjung. Gadis ini kepalanya kepentok apa sih? Sampai nggak bisa berpikir jernih. Grr, meski alasanku kali ini hanya dusta, tapi emosi juga gue mendengarnya.

"Aku kangen kamu. Aku juga butuh kamu, Rama. Kamu seharusnya bisa prioritasin aku. Kenapa aku harus selalu ngalah sama pasienmu? Yang pacarmu itu kan aku, bukan mereka."

Astaga, perempuan ini halunya luar biasa. Apa dia nggak tahu, kalau gue bisa berganti pacar semudah berganti celana dalam?

"Rama, kamu dengar aku, nggak?"

Gue menyetop mobil di depan pintu masuk. Meraih tas-tas belanjaannya dan menaruhnya di meja security. Lalu melenggang kangkung, kembali ke mobil. Namun masih saja Aluna mengekoriku.

"Rama, kamu mau kemana? Rama, kamu nggak boleh pergi!" Ia mencekal lenganku.

"Kita bisa ketemu lain kali, Luna." jawabku, penuh kelembutan.

Namun ia menggeleng, mengumbar sorot kesedihan. "Aku nggak mau kamu tinggal."

Gue menariknya ke bawah tiang lampu, hingga punggungnya melekat disana. Menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai memagut bibirnya, pelan, lalu semakin dalam. Kedua tanganku turun, menyusuri sisi tubuhnya. Mengusap pinggang langsingnya hingga erangannya terdengar. Bibirku terus memagut dan tanganku berlarian ke sekujur tubuhnya, membuat Aluna semakin tenggelam dalam gairah yang menyesatkan.

Gue pun menarik diri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilku. Setidaknya ia akan tersesat selama beberapa waktu, memberiku kesempatan untuk berlalu.

🐰

"Rama,"

Mega memelukku erat. Yang kubalas dengan usapan di lengannya. Setelah meninggalkan apartemen Aluna, gue mampir ke kedai untuk membeli kopi dan kue. Sebotol cappuccino untukku dan vanilla latte untuk Mega. Serta sekotak cake dengan bermacam varian. Pokoknya, semua jenis yang tersisa, gue borong masing-masing dua slice. Biar dia pilih sendiri mau makan yang mana. Gemuk, gemuk deh dia makan! Lalu mataku tergoda untuk membeli sekotak lagi roti danish dan bagel yang tampak lezat. Dan sisa dari semuanya kini tersimpan di lemari dapur. Benar-benar hanya itu makan malam gue kemarin. Lupakan sejenak gizi seimbang dan kalori!

"Ya?" sahutku.

Begitu tiba dari kedai kopi, gue mendapati Mega telah duduk di meja security apartemenku. Menunggu kedatanganku dengan sabar. Bersama-sama kami naik ke unitku, dan menyantap makan malam. Lalu menghabiskan sisa malam dengan berpelukan di ranjang hingga ketiduran.

Keesokan harinya, yaitu saat ini, hujan menguyur Jakarta sedari pagi. Beruntung ini hari libur, sehingga gue tidak harus kedinginan di luar sana, menembus kemacetan ibukota.

"Aku cinta kamu." kata Mega, membuatku terkejut.

Bukan karena nggak menyangka dia akan jatuh cinta padaku. Melainkan saat ini gue sedang menonton tayangan kartun. Jauh aja gitu kan, korelasinya? 😁

"I love you too, Meg." jawabku, sambil menoleh ke arahnya.

Lalu kudapati ia tersenyum senang mendengarnya. Pelukannya di lenganku terasa semakin erat. Disandarkan kepalanya di atas bahuku.

Eh, bukannya dia punya pacar? Ya, bukannya gue peduli sih. Wanita bersuami aja gue hajar, apalagi yang masih pacaran. Iya, gue tahu gue brengsek. Toh gue nggak pernah mendeklarasikan diri sebagai cowok baik-baik.

"Ini serius, nggak boleh kuganti film dewasa?" tanyaku

"Otakmu, Rama," tegurnya sambil menepuk lenganku gemas. "Memangnya kamu nggak risih, lihat orang telanjang?" tanyanya, terdengar heran.

"Biasa aja." jawabku, kembali menonton tayangan kartun di TV. "Sejak masih kuliah, aku sudah akrab dengan organ tubuh manusia."

"Cewek juga?" tanyanya.

"Cewek, banci, cewek kayak cowok, cowok pingin jadi cewek, cewek nggak kayak cewek,"

"Apa sih? Garing." tawanya sembari menepuk lenganku.

Gue pun ikut tersenyum. Namun tak lama. Karena mendadak seorang cewek muncul di ambang pintu kamarku. Dan berteriak murka.

"KAMU NGAPAIN?"

Gue mengumpat dalam hati. Gimana bisa Aluna masuk ke dalam sini? Seingatku, gue nggak pernah membagikan passcode tempat tinggalku kepada siapapun selain anggota keluarga. Bahkan seumur hidup, hanya pernah ada satu mantanku yang kupercaya untuk berbagi akses ke tempat tinggalku. Jelas Aluna nggak termasuk salah satu dari orang yang beruntung itu. Gezz, gue harus komplain security nanti!

"Dia siapa, Rama?" tanya Mega, terlihat bingung sekaligus cemas.

Gue pun bangkit dari atas tempat tidur, menggiring Aluna keluar kamar. Lalu mengamuklah wanita itu. Dia memukuli segala bagian tubuhku yang dapat dijangkaunya. Gue mematung, membiarkannya menuntaskan segala amarah.

"Pantas aja kamu nggak pernah angkat telponku. Nggak punya waktu buatku. Ternyata kamu sibuk sama perempuan lain." Bla bla bla. Segala tuduhan mulai dia lontarkan. Dari yang masuk akal sampai yang terdengar menggelikan.

"Kita putus!" pungkasnya.

"Oke." jawabku dengan tenang.

Namun bukannya senang mendengar persetujuanku, Aluna malah semakin marah. Aneh, ya? Berikutnya, ia menampar wajahku.

"Jangan hubungi aku lagi!" teriaknya, sebelum membanting pintu.

Yang kuartikan bahwa ia berharap gue akan segera menghubunginya lagi nanti. Memohon pengampunannya agar kami dapat kembali bersama. Yang itu tidak akan pernah terjadi.

"Rama, kamu nggak apa-apa?" Mega datang menghampiri. "Ya ampun, pipi kamu merah."

Di ruang tamu, ia mengompres kemerahan di pipiku, akibat tamparan Aluna. Juga lebam-lebam di tangan dan bagian tubuh lainnya.

"Itu--pacar kamu?" tanyanya, takut-takut.

"Udah mantan. Aku lebih milih kamu, Sayang." gombalku.

Meski begitu, Mega tampak gembira mendengarnya.

🐰

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Berikan vote dan komentar, agar penulis juga dapat berkembang.

Rama dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang