"Selamat, Nona sudah sembuh." kataku, usai memeriksa seorang pasien.
"Betul, Dok?" tanyanya dengan senyum lebar.
"Iya. Lain kali, jangan lupa untuk menggunakan pengaman!" pesanku.
Dia mengangguk senang. Tapi lantas terlihat murung. Katanya, "Berarti saya nggak akan bertemu dokter lagi?"
"Ya. Sudah tidak perlu berobat lagi." jawabku.
Dia pun bangkit, duduk di pangkuanku seraya mengalungkan satu tangan ke leherku. Satu tangannya lagi membuka kancing kemejanya sendiri, menampakkan bagian tubuhnya yang dulu sempat membuatku tergiur.
"Dokter nggak mau nerusin yang waktu itu?" tanyanya, sambil menggerakkan tangan naik turun di dadaku.
"Maaf, Dokter, nona ini memaksa masuk."
Asistenku muncul. Sialnya, dia tidak seorang diri. Di sebelahnya, Mega berdiri dengan menutup mulut yang tercengang. Tak lama, air mata menuruni wajahnya. Lalu gadis itu berbalik pergi.
🐰
"Hai!" sapaku, tersenyum kepada Mega yang baru saja turun dari mobilnya.
Tempo hari sepulang kerja, gue mendatangi unitnya, namun gadis itu tidak membukakan pintu untukku. Tampaknya dia marah atas kejadian di ruang praktik siang itu. Maka gue putuskan untuk menunggunya di basement hari ini. Benar saja, Mega berjalan tergesa menjauhiku.
"Sayang!" Gue memanggil.
Seperti yang sudah kuduga, kembali diacuhkannya.
"Mega!" Gue mengikutinya masuk ke dalam lift, meski ia tampak keberatan. "Sayang, kamu masih marah?"
Dia nggak menjawab, malah membuang muka. Di lantai berikutnya, sejumlah penghuni apartemen memasuki lift, sehingga gue tidak bisa mengajaknya bicara. Begitu tiba di lantai tempat unitnya berada, gue kembali berjalan mengikutinya.
"Sayang, yang kamu lihat tempo hari itu bukan apa-apa." kataku, menjelaskan.
Namun Mega tidak menggubrisnya. Bahkan setelah membuka pintu, gadis itu hendak menutupnya kembali tanpa mempersilakanku untuk masuk.
"Keluar!" katanya, begitu gue menerobos masuk.
Berlawanan dengan perintahnya, gue menutup pintu hingga terkunci. Selanjutnya menyudutkan gadis itu ke dinding. Mencium bibirnya yang menolak untuk kusentuh.
Gue mendesah frustasi. "Kamu beneran marah? Aku nggak ngelakuin apa-apa tempo hari."
"Dia telanjang di pangkuanmu." balasnya, menatapku dengan permusuhan.
"Dia nggak telanjang. Cuma terbuka kemejanya." bantahku.
"Sama aja, Rama." jawabnya. "Begitu kelakuanmu selama ini? Emangnya aku aja nggak cukup? Kurang ngelayanin apa sih aku? Kamu minta seks seharian juga kukasih." lanjutnya, meneteskan air mata.
"Udah kubilang, nggak terjadi apa-apa." kataku, kesal mendapati sorot terluka di matanya.
"Belum? Karena aku keburu muncul? Kalau aku nggak datang, pasti udah kamu tidurin dia!" tuduhnya.
Gue berdecak jengah. Melangkah mundur menjauhinya, berbalik menuju pintu.
"Terserah kamu, Meg!"
🐰
"Om kenapa? Mukanya kucel banget." tegur Leo, duduk di sebelahku yang sedang menonton TV.
"Tumben lo sendiri! Mana Rossa?" sahutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
Roman d'amourGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...