Bab 38

450 11 0
                                    

"Harus banget ya, Ma? Emang nggak bisa kenalan di acara kawinan Rama nanti?" tanyaku, enggan memenuhi undangan mama untuk menghadiri arisan keluarga dengan membawa Mega.

Bukannya malu, hanya saja berita skandalku pasti sudah tersiar di kalangan keluarga besar. Pastinya bakal jadi bahan gunjingan. Ujung-ujungnya mama, dua kakak perempuanku, serta Mega yang bakal baper mendengarnya. Kalau gue sih bodo amat. Papa paling cuma ketawa dengernya. Gimana pun, dia yang ngebet punya mantu dari gue. Mau calon istriku mantan permaisuri kaisar cina juga dia seneng-seneng aja kayaknya.

"Kamu teh gimana? Keluarga besar kita kan ikut membantu persiapan pernikahan kamu. Masa mereka nggak kenalan dulu sama istri kamu?" balas mama.

"Kan Rama udah bilang, serahin aja ke WO!" sahutku.

"Ya jangan atuh, A! Aa kan anak laki-laki Mama satu-satunya. Masa diserahin ke WO? Tua-tua gini teh, Mama masih sanggup mengadakan pesta pernikahan yang meriah buat kamu sama calon mantu mama, si neng Mega geulis." tolak mama.

"Pokoknya jangan sampai lupa, hari Minggu. Catat nyak!" pesan mama kemudian.

Gue mengiyakan dengan setengah hati.

"Terus itu, jangan lupa, kamu teh booking hotel suaminya neng geulis Gadis. Buat menginap teman-teman kamu dan keluarga kita yang dari luar kota dan luar negeri." kata mama.

Astaga, nggak bisa ya nikah di KUA aja?

🐰

"Kamu mau ke Bandung?" tanyaku pada Mega di saat kami menikmati sarapan.

"Aa mau ngajakin Mega liburan di Bandung?" balasnya, sembari menyuapkan bubur kepada Rima.

"Bukan liburan, ketemu keluarga besar Aa di Bandung." jawabku, menyuapkan sesendok makanan untuknya.

"Ketemu keluarga Aa?" beonya. "Mau atuh A!" sahutnya dengan wajah berbinar-binar.

Dia nggak sadar bahaya apa yang tengah menantinya!

"Kalau gitu, Minggu pagi kamu siap-siap!" sahutku.

"Yes, Boss!" balasnya memberi hormat. "Err, Rima boleh diajak nggak?" tanyanya.

Gue melirik balita lucu itu, berpikir baik-buruknya. Gue nggak ingin balita tak berdosa itu mendengar cemoohan yang bahkan belum dimengerti oleh otaknya yang masih polos. Namun bagaimana pun, gue ingin mereka diterima dengan apa adanya.

"Boleh." sahutku.

"Yeay! Besok Minggu kita ke rumah nini di Bandung, Rima!" sorak Mega mengajak toss anaknya. Eh, anakku juga sekarang.

🐰

"Ternyata benar rumor itu? Rama mau nikahin janda beranak satu? Yah, kalau sudah tua memang nggak banyak pilihan ya?" kata mak lampir alias tante Puspa.

Heran, orang dengki gitu panjang umurnya!

"Biarpun sudah tua kan kamu masih perjaka, Ram. Mbok ya cari calon istri yang masih perawan gitu lho. Mosok dokter, ganteng, kok nikahnya sama janda! Udah punya buntut lagi." sahut adik ipar mak lampir.

Emang ya, nggak kakaknya, nggak adik iparnya, kalau sealiran gitu ya bakal jadi keluarga! Gue yakin deh mereka dulu sama-sama berguru di lereng gunung merapi.

"Kalau mau sama janda teh, mending nikahin Euis atuh A! Euis juga belum lama jadi janda." sahut Vanessa, sepupuku.

"Aa, diajak mama makan siang!" panggil Mega, menghampiriku.

"Kalau gitu Rama pamit dulu ya Ladies!" kataku.

"Nanti dulu atuh, Ram! Ini si neng Mega ya? Kerja dimana?" tegur tante Puspa sok ramah.

Rama dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang