"Mega, udah siap?" tegurku.
Siang ini kami akan berangkat ke Bandung untuk pernikahan esok hari.
"Eh, udah A." sahutnya, mengambil tas tangan dari atas ranjang.
"Kamu habis nangis?" Gue memeluk tubuhnya dari belakang.
Barusan kulihat ia mengusap air mata dari pipinya.
Mega menggeleng. "Aku nggak apa-apa, A. Ayo berangkat!"
"What's wrong Meg?" bujukku.
Ia kembali meneteskan air mata. "Mega cuma sedih, keluarga Mega nggak bisa menghadiri pernikahan kita besok pagi. Mega juga nggak enak sama keluarga Aa, yang udah baik banget bantu menyiapkan pernikahan kita. Kalau saja bapak nggak sekeras kepala itu...."
"Kamu nggak perlu nggak enak sama keluarga Aa. Mereka semua bantu karena ini moment yang mereka tunggu-tunggu sejak Aa masih dua puluhan." jawabku, membuatnya tertawa pendek. "Soal ayah kamu, yeah, kamu harus maklum, Meg. Ayah kamu pasti kecewa, dan itu hal yang sangat wajar. Kita doakan saja semoga hati ayahmu dilembutkan, sehingga suatu hari nanti bisa menerima pernikahan kita. Oke?" lanjutku.
Mega mengangguk seraya tersenyum. Disusul ciuman kami sebelum berangkat ke Bandung.
🐰
"Ya, Le?" jawabku, menerima panggilan telepon dari Leo.
"Kenapa harus gue yang jemput? Om kan calon mantunya!" protesnya, atas pesan yang kukirim satu jam lalu melalui messenger.
"Karena lo calon cucu mantunya." sahutku.
"Cih. Sejak kapan gue jadi anak Om?" sahutnya.
"Sejak lo merengek-rengek minta gue antar ke Hongkong Disney Land, Kuala Lumpur Bird Park, Tayo Station Singapore, Studio Ghibli Museum Jepang, Melbourne Zoo, Vatnajokull Islandia, Lego House Denmark,...." jawabku panjang lebar.
"Okay, okay, gue jemput! Sumpah lama-lama gue nyesel pernah jadi kecil dan clingy sama Om." serunya, memotong ucapanku.
"Nah, gitu dong! Lo harus selalu ingat jasa ayah angkat lo ini." sahutku, tersenyum puas.
"Assalamu'alaikum." katanya, lalu mematikan sambungan.
Sigh.
"Wa'alaikum salam." jawabku.
"Aa? Diajak mama makan malam!" tegur Mega.
Gue meletakkan HP di atas nakas dan segera menggandeng tangannya menuju ruang makan.
"Mau makan kamu aja padahal." bisikku di daun telinganya.
"Aa mesum!" sahutnya, memukul lenganku dengan wajah bersemu malu.
🐰
"Saudara Ramadhan Putra Ardian bin Krisna Putra Ardian, aku nikahkan, aku kawinkan anda kepada Mega Ayu Wulandari, yang ia telah memberikan ikhlas ridha dan menyerahkan mandatnya kepada saya untuk bertindak selaku wali hakim dalam pernikahan ini, dengan maskawinnya uang sebesar tujuh puluh lima juta rupiah dan emas seberat dua ratus gram dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Mega Ayu Wulandari binti Jatmiko dengan maskawin tersebut, tunai."
Gue menarik napas lega setelah klaim sah dan doa keberkahan dari penghulu berkumandang. Jadi begini rasanya menikah? Nggak peduli berapapun umurnya, tetap merasakan ketegangan menjelang akad. Gue kira, gue nggak akan merasakan ini ketika menyaksikan pernikahan Leo setengah tahun lalu. Gue tersenyum, rupanya gue nggak ada bedanya dengan bocah umur pertengahan dua puluhan itu.
"Aa, makasih udah datengin ibu dan adik-adikku kesini!" ucap Mega usai kukecup keningnya.
"Anytime, baby." sahutku, mencium bibirnya beberapa waktu.
Hal yang nggak seharusnya kulakukan di depan umum, namun, kubiarkan saja sorakan gembira orang-orang itu mengiringinya serupa lagu yang merdu.
"I love you, Mega." lanjutku.
"I love you so much, Aa." jawabnya, tersenyum dengan linangan air mata.
Yang gue harap itu karena bahagia, pikirku sembari mengusap cairan bening di pipinya.
🐰
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...