Sudah jadi tradisi, setiap lebaran idul fitri tiba, kami bersilaturahmi ke rumah orang tua Mega di Solo. Jangan bayangkan ini akan menjadi pertemuan keluarga yang seru atau penuh haru! Tahun pertama, ayah Mega keluar sembari membawa kerisnya menyambut kedatangan kami. Hanya karena kehadiran Rima kecil lah yang menyelamatkanku dari amukannya. Tahun-tahun berikutnya, bapak sama sekali tak keluar untuk menemui kami. Hanya Rima yang diijinkan untuk masuk menemuinya.
"Mbak Mega? Bu, Ibu, ini lho, mbak Mega dan mas Rama datang!" teriak adik Mega, memanggil ibu mereka.
Ia menyalamiku lalu berpelukan dengan kakaknya. Saling berucap selamat lebaran. Disusul kehadiran ibu yang bergantian menyapa kami dengan jabat tangan dan pelukan.
"Ayo masuk!" ajak ibu. "Rima, ajak adik-adikmu masuk!"
"Iya Uti!" sahut Rima, menggiring kedua adik laki-lakinya masuk menyusul kami.
Dua bocah itu lebih tertarik dengan penjual mainan keliling daripada neneknya. Sigh, anaknya siapa sih!
"Sebentar yo, ibu siapkan makanan dulu." kata mertuaku.
"Nggak usah repot-repot, Bu." sahutku.
Awal-awal kagok rasanya memanggil ibu. Secara usia kami sebaya. Tapi mau gimana, gue ngawinin anaknya.
Ibu Mega hanya melambaikan tangan. Lalu masuk ke dalam rumah bersama anaknya yang bungsu.
"Rumahmu nggak mau direnovasi, Meg? Atapnya perlu perbaikan. Pintunya juga." tanyaku, mengamati ruang tamu rumah adat jawa ini.
"Mega boleh kasih uang buat ibu?" balasnya.
"Boleh atuh, Meg. Memangnya duit Aa udah habis?" balasku, mengernyit heran.
Seingatku, bagian yang kuperoleh dari keuntungan perusahaan papa, lumayan banyak jumlahnya. Selama ini belum pernah habis meski sudah kuhambur-hamburkan. Ditambah pemasukan dari klinik, lalu gajiku sebagai dokter spesialis di rumah sakit. Masa iya sih, masih kurang untuk mencukupi kebutuhan rumah tanggaku dengan Mega? Anak kami baru tiga. Padahal gue berencana untuk nambah anak lagi, perempuan.
Dia malah cemberut. "Bukan habis A, tapi kan itu uang Aa. Mega nggak berani ambil buat keperluan pribadi."
Gue menggenggam tangannya. "Uang Aa, uangmu juga. Kamu boleh gunakan untuk memenuhi kebutuhan kita, Meg. Termasuk untuk orang tua kita." kataku. "Nah kan, cengeng." lanjutku, mendapati matanya yang berkaca-kaca.
"Mega terharu, Aa!" balasnya, menyusut air mata.
Berikutnya, ibu dan adik Mega kembali dengan membawakan makanan. Ketupat dan aneka lauk. Makanan ringan sudah lebih dulu terhidang di atas meja, yang sedang diserbu oleh anak-anakku.
"Siapa yang datang, Bu?" tanya bapak, menyusul kehadirannya di ruang tamu.
Sejenak, hanya suara mengunyah anak-anakku yang terdengar, hingga Mega bangkit dan memeluk ayahnya. Menyusul linangan air mata yang membasahi wajahnya.
"Kamu pulang, Nduk?" Bapak membalas pelukannya.
Ini adalah momen yang kami tunggu-tunggu sejak bertahun-tahun lalu. Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan. Bahkan jika ayahnya tetap bersikap dingin padaku, gue nggak akan protes. Setidaknya, ia sudah mau bicara lagi dengan Mega dan menyapa anak-anakku sebagai cucunya.
"Iku bojomu to, Nduk? Kok tambah tuwa!" kata ayahnya sembari melirikku.
Entah apa artinya, gue masih nggak paham Bahasa Jawa, yang pasti membuat Mega tertawa mendengarnya. Berikutnya gue menyalami ayahnya, usai menerima isyarat dari Mega untuk mendekat. Gue nggak siap menerima pelukan beliau yang tiba-tiba, disusul bisikan berupa ucapan terima kasih atas cucu yang kuberikan, juga pesan untukku agar menjaga putri dan cucu-cucunya.
"Bapakmu tadi bilang apa?" bisikku pada Mega setelah ayahnya sibuk bermain dengan ketiga anakku.
Mega tersenyum geli, lalu jawabnya, "Kata bapak, Aa tambah ganteng."
Masa sih? Tapi kok elu ketawa?
"Es, Akung! Mau es!" Gama menarik lengan bapak, merengek minta dibelikan es krim keliling.
"Kelakuan anakmu tuh, Meg!" tunjukku dengan dagu.
"Anak Aa juga!" sahut Mega tak mau kalah.
🐰
"He is handsome, Ram!" Gadis memuji bayi dalam gendongannya.
"Of course he is!" sahutku bangga.
Anak gue 😎
"Mentang-mentang kawin tua, terus dua tahun sekali bikin anak!" cibir Boy, yang berdiri di sebelahnya.
"Boy!" tegur Gadis. "Sorry, Ram, dia jealous karena aku nggak mau nambah momongan." lanjutnya, tak enak hati.
Gue tersenyum miring, "No problem!"
"Aku mau lagi, Rose!" celetuk Leo tiba-tiba.
Rossa yang berdiri di sebelahnya mendengus, "Anak kamu masih kecil, Le! Tunggu usianya lima atau tujuh tahun."
Leo berdecak, "Kak Mega aja dua tahun sekali bisa, Rose!"
Rossa melotot, "Nggak usah aneh-aneh deh, Le!"
"Aku minta anak ke kamu, itu nggak aneh. Kalau aku minta ke cewek lain, baru aneh." sahut Leo. "Oh, apa perlu aku minta sama cewek lain? Kebetulan, aku banyak kenalan cantik-cantik. " lanjutnya.
Rossa meletakkan putrinya di pangkuanku, sebelum memukuli Leo hingga terpojok di sofa. Dua bocah kawin, ya, gitu kelakuannya! Meski harus kuakui, gue iri melihat putri cantik di pangkuanku. Berhubung anak ketiga gue yang barusan lahir berjenis kelamin laki-laki lagi. Tapi nggak apa-apa, gue sayang mereka semua.
"Makasih Sayang!" bisikku, usai mengecup sebelah pipi Mega.
Senyumannya luar biasa cantik sore ini. Sungguh.
🐰
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...