Bab 22

433 8 0
                                    

Setelah gue selesai diobati, Sky dan Katy memasuki ruang rawatku. Tidak ada luka dalam yang kuderita, namun gue diharuskan untuk rawat inap selama dua hari. Rasanya aneh, menjadi pasien di rumah sakit sendiri. Dipikir-pikir, ini kedua kalinya gue opname di rumah sakit, setelah kecelakaan waktu sekolah dasar.

"Ada apa Kate?" tanyaku, melihat kegelisahan di wajah Katy.

"Eh? Itu, Ram, maaf, kamu udah baik-baik aja kan? Aku mau minta Sky untuk mengantarku pulang." jawabnya.

Sejenak gue saling beradu pandang dengan Sky, sebelum bocah itu berkata, "Oh, ayolah Om! Sekali ini saja gunakan nama belakang Om!"

Katy mengernyit bingung mendengarnya.

"Memangnya pengawalmu nggak sanggup mengurus Edrick si tukang kawin itu?" balasku.

"Om yang main cewek, kenapa jadi aku yang harus beresin bapak-bapak nggak ada akhlak itu?" balas Sky.

Tampangnya mirip bener sama Boy kalau lagi kayak gini.

"Aku bisa menghadapi Edrick sendiri kok. Makasih, selama ini kalian sudah membantuku." sela Katy.

"Bukan gitu, Kate!" sahutku.

"Iya, Om-om Playboy ini sebetulnya punya cukup kekuatan untuk mengalahkan bapak-bapak nggak ada akhlak itu." Sky menyahut.

"Ram?" Katy bertanya, tampak bingung.

Chikuso! Terpaksa gue meraih gawai, menghubungi tangan kanan papa. Jelas karena aku terlalu gengsi untuk meminta bantuan pada papa langsung. Mengingat hak warisku atas kekayaan keluarga Ardian OTW dicabut, gara-gara nggak nikah.

🐰

"Aku nggak tahu kamu anak dari Krisna Ardian, pengusaha konveksi itu." ucap Katy, membimbing langkahku memasuki rumah.

Kami baru kembali dari jalan-jalan di halaman. Padahal gue bisa jalan sendiri. Meski pincang.

"Kamu tahu nggak? Dulu aku suka beli tas sama sepatunya lho, Ram! Bagus-bagus banget. Produk lokal, kualitas import." ceritanya dengan senyuman lebar.

Nggak tersisa lagi kecemasan di wajah Katy, yang kulihat dua hari lalu. Syukurlah, ada gunanya juga gue jadi anak papa.

"Sekarang udah nggak beli?" balasku.

Katy meringis. Gue bersyukur dia punya banyak ekspresi sekarang. Bukan cuma wajah datar yang membosankan. Derita hidup memang sungguh ampuh mengubah karakter seseorang. Mungkin beginilah aslinya Katy, ceria dan banyak tersenyum. Syukurlah ia sudah terlepas dari jeratan Edrick.

Oh, permintaan tolongku pada tangan kanan papa berhasil. Hanya dalam beberapa hari, harga saham perusahaan Edrick anjlok. Nggak ngerti gimana caranya, yang pasti gue berterima kasih pada Om Wisnu, orang kepercayaan papa itu. Berkat dia, Edrick mengambil langkah mundur, menyelamatkan diri.

"Aku udah lama nggak belanja, Ram. Ya, sejak aku menikah dengan Edrick, jadi malas aja mau senang-senang." jawabnya, terlihat agak sedih.

"Kamu belanja aja, aku yang traktir!" kataku.

Namun Katy menggeleng. "Nanti aja, kalau aku udah gajian. Kamu udah terlalu banyak bantuin aku, Ram. Aku nggak tau gimana cara membalasnya."

"Nggak usah mikirin hal-hal kayak gitu, Kate. Nikmati saja hidupmu saat ini." jawabku sungguh-sungguh.

"Nona Katy bisa membalasnya dengan menjadi istri A Rama." sahut Bu Intan, tiba-tiba muncul.

Bila Katy tampak menunduk malu, gue justru melotot mendengar usulan ngawur itu. Yang benar saja, apa bedanya gue sama pria tukang kawin itu?

🐰

Tepat tengah malam, mobilku tiba di jalanan depan rumah Mega. Wanita itu muncul dari balik pintu, mengenakan gaun tidurnya yang minimalis. Berhati-hati melewati pagar agar tak berderit dan mengganggu sunyinya malam. Dengan menghela napas lega, ia duduk di sebelahku.

"A Rama!" serunya, memelukku.

Dalam diam gue mengamati tubuhnya dari atas ke bawah. Dia kembali langsing kini setelah melahirkan. Gue mengelus pahanya, nggak bisa menahan diri untuk menindih tubuhnya yang duduk di kursi penumpang. Dengan cekatan tanganku melolosi pakaian yang ia kenakan.

"Meg," kataku, sebelum mengerang, menikmati penyatuan kami.

"Aa...." sahutnya tanpa daya, membuatku makin bersemangat.

Kusentuh perutnya yang rata, "Aa mau anak, Meg."

Mega mengangguk, disusul desahannya yang kembali terdengar. Sial, ternyata cuma mimpi!

Mataku terbuka sepenuhnya. Dering telepon dari mama bahkan terdengar hingga ke alam mimpiku.

"Ya, Ma. Rama udah bangun." kataku, sembari beranjak menuju kamar mandi.

Oh sial, celanaku basah lagi! Sambil mengerang, gue melemparkan baju ganti ke atas ranjang untuk kukenakan nanti setelah mandi.

"Aa teh tidur apa mati? Mama telepon dari tadi nggak dijawab." omel mama.

"Tidur atuh, Ma. Kalau mati nggak bisa angkat telepon dari mama sekarang." sahutku asal-asalan.

"Maneh teh kalau dinasehati orang tua...." sahut mama, gemas.

"Makanya kawin atuh, Ram. Biar ada istri yang ngurus. Ada yang bangunin Aa. Ada yang masakin Aa." lanjutnya.

"Itu sih hire ART juga cukup, Ma, nggak perlu kawin." sahutku. "Bayar ART paling dua-tiga juta. Kawin nggak cukup sepuluh juta buat bikin istri Rama diam."

"Maneh teh mau sholat, mandi dulu? Bagus, itu baru anak mama!" katanya, yang mungkin mendengar suara air mengalir dari pancuran.

Dia nggak tau aja, gue mandi bukan karena mau sholat. Tapi karena habis mimpi enak-enak! Sigh, ngenes banget gue. Ganteng-ganteng tapi sering mimpi basah. Kayaknya sekarang orang ganteng udah nggak dapat priviledge. Cewek-cewek lebih demen sama beruang atau kharismatik. Da aku mah apa atuh, sebentar lagi dicoret dari daftar ahli waris Krisna Ardian yang terhormat.

Gue membungkus pinggang ke bawah dengan handuk. Sebentar lagi mungkin harus hengkang dari apartemen yang gue tempati, pindah ke tempat yang lebih murah biaya perawatannya. Tunggu, apa apartemen ini harus kukembalikan pada papa? Mengingat gue membelinya dengan kekayaan Ardian? Gue menggelar sajadah dengan lesu. Kalau begitu, satu-satunya hartaku yang tersisa hanya uang dalam tabungan. Dan bahkan mobil yang kupakai juga pinjaman dari papa. Hiks.

Sebetulnya, kemana gajiku hasil kerja keras menjadi dokter selama puluhan tahun ini? Bukankah profesiku menghasilkan cuan yang lumayan jumlahnya? Terlebih, spesialisasi bidang yang kuambil nggak pernah sepi pasien. Sekali berobat saja, mereka rela merogoh kocek hingga ratusan juta. Bukankah seharusnya gue jadi miliarder sekarang? Dan terpampang fotoku di majalah bisnis, dalam deretan 100 bujangan terkaya di Indonesia?

Sepertinya bayangan kemiskinan mulai membuatku sinting. Jelas saja namaku tidak akan terpampang dalam majalah bisnis sebagai bujangan terkaya, karena gajiku habis untuk menutup biaya pengobatan bagi pasien-pasienku yang tidak mampu. Yang umumnya adalah para manusia pengumbar syahwat. Sigh, mereka yang enak-enak, gue yang harus bayar! Tapi kasihan juga, di tempat lain mereka ditolak untuk berobat. Mungkin saking bandelnya kelakuan mereka. Sudah dinasihati, masih berulah lagi. Mau gimana, seks memang nikmat dan bikin ketagihan. Seperti makanan, ia juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Yang jika dikonsumsi dengan cara yang salah, dapat menimbulkan penyakit mematikan. Butuh biaya mahal hanya untuk mengurangi rasa sakitnya dan harus ditebus seumur hidup. Iya, gue sedang membicarakan HIV AIDS.

"Allaaahu akbar!" takbirku dengan kedua tangan terangkat, memulai sholat subuh.

🐰

Rama dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang