"Hai, butuh tumpangan?" Gue menyapa Putri, keesokan hari setelah sarapan di restoran hotel.
"Thanks." sambutnya dengan tersenyum. "Kuharap nggak merepotkanmu." lanjutnya, duduk di kursi penumpang.
Gue menutup pintu di sebelahnya. Beranjak ke belakang untuk memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Lalu kembali berjalan ke depan dan duduk di belakang kemudi.
"Lo nggak buru-buru ke rumah sakit?" tanyanya, sambil menyalakan tape mobil. Memutar lagu bertempo pelan, kesukaannya.
"Masih nanti sore." jawabku, sekilas menengoknya. "Kenapa nggak tinggal lebih lama di hotel?" tanyaku.
Putri mengedikkan bahu. "Mau ngapain?"
"I don't know. Temu kangen sama Leo, maybe?" jawabku, berhubung mereka tinggal berjauhan selama ini. Leo di London, sedang Putri tetap tinggal di Indonesia.
Ia mendengus, lalu tertawa geli. "Trust me, Ram, selama ada Rossa di sisinya, dia nggak butuh yang lain!"
Tawanya menular padaku.
"Lo tau, dia bahkan nggak minta pendapatku untuk melamar Rossa? Tau-tau dia telpon dan bilang, Mom, minggu depan Leo nikah! Sinting nggak sih anak itu? Dia pikir nikah nggak perlu persiapan apa? Untung dia berhasil dibujuk untuk melakukan persiapan selama dua bulan! Tadinya dia mau akad nikah di masjid aja, Ram. Terus jamuan makan malam. Udah. Tanpa dekorasi, tanpa undangan resmi, tanpa pakaian pengantin malah! Bayangin deh, masa dia mau nikah pakai pakaian jadi yang dijual di mall? Anak itu benar-benar.... Heran gue, otaknya dimana!" tutur Putri panjang lebar, membuatku terpingkal.
"Are you happy?" tanyaku.
Mungkin hanya terdengar seperti basa-basi. Tapi sungguh, gue ikut bahagia melihat senyum yang terukir di wajahnya.
"Nggak pernah sebahagia ini mungkin, Ram!" jawabnya, menyusut air mata. "Maksudku, yeah, dulu dia masih kecil banget. Susah diatur, suka kabur dari rumah dan acara-acara formal lainnya. Nggak terhitung berapa kali gue dipanggil ke sekolah karena ulahnya!" lanjut Putri. "But now, di usianya yang masih muda, dia sudah berani ambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga. He even has a production house in england! Dia menolak menerima begitu saja PH milikku, Ram. Katanya, nggak seru mengelola PH yang sudah tumbuh besar. You know, gue rasa dia cuma pingin namanya dikenal sebagai founder aja!" imbuhnya.
Gue tertawa, setuju dengan pemikirannya.
"Is she pregnant?" tanyaku, hanya penasaran.
Putri menggeleng. "Tadinya gue kira juga mereka mau nikah karena Rossa hamil. Tapi, waktu gue tanya, dia bersumpah Rossa nggak sedang hamil. Malah dia ngomel-ngomel karena gue nggak percaya sama anak sendiri!" jawabnya. "Yeah, memangnya anak itu bisa dipercaya?" lanjutnya, nyengir.
Gue kembali tertawa, "Indeed!"
Sepanjang jalan kami terus mengobrol, hingga tiba di kediamannya yang seperti istana. Well, dia memang seorang putri. Batinku, sembari tersenyum miring.
"Lo mau minum kopi?" Putri menawari.
Gue mengangguk, mengikutinya turun dari mobil. Ada seorang pelayan yang mengambil alih kopernya dari tanganku. Berikutnya ia mempersilakanku duduk di ruang tamu, sedang dirinya perlu untuk berganti pakaian.
Gue menatap ke sekitar, Putri paling rajin mengubah-ubah dekorasi rumah. Entah itu dari segi penataan barang-barang atau wall paper yang dipasangnya di dinding. Namun satu yang tidak pernah berubah, foto pria itu masih terpajang disana! Boy, sepertinya akan menjadi cinta terakhirnya. Meski sudah bertahun-tahun lamanya sejak mereka bercerai.
"Mari kita minum!" ajaknya, begitu muncul kembali di ruang tamu. Sudah mengganti pakaiannya dengan gaun selutut.
"Gue boleh tanya sesuatu?" kataku, sembari menikmati kopi dan kue yang disuguhkan pelayan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Cinta
RomanceGue Rama. Umur 52 tahun. Profesi, dokter spesialis kulit dan kelamin. Status lajang. Iya, kalian nggak salah baca, gue belum pernah menikah. Trauma? Ya ampun, istilah puitis dari mana itu? Enggak lah, gue cuma belum ketemu cewek yang pingin gue nik...