Dengan alat kemotrapi, Arka masih sanggup membuka ponselnya untuk sekedar memberi kabar kepada Freya bahwa dirinya tidak bisa datang ke olimpiade yang Fenita ikuti. Tentu saja Arka berbohong tentang alasannya tidak bisa datang. Dia belum siap memberitahu Freya mengenai penyakitnya.
Saat Dewi masuk ruangannya, Arka langsung meletakkan ponselnya di meja dekat ranjangnya. Mamanya itu membawa beberapa buah-buahan di kantong plastik bening.
"Mama kemarin ketemu sama orang tua dari siswa SMA Cendrawana, dia ada di sebelah kamar kamu, apa kamu udah ketemu dia?" tanya Dewi pada Arka.
"Oh, iya. Arka udah ketemu sama Raiden." Arka mungkin tidak mengenal semua siswa SMA Cendrawana karna dia juga termasuk siswa baru jadi Dewi bertanya.
"Katanya dia udah hampir setahun saat kenaikan kelas sebelas dirawat di sini, katanya belum dapat donor hati yang cocok sampai sekarang," cerita sedikit Dewi.
Arka mengangguk. "Kita senasib ya, Ma. Sama-sama penyakitan. Satu tahun lebih di rumah sakit seperti sebuah penjara. Aku juga pernah merasakannya."
Dewi sergap memeluk Arka karna ucapan anaknya yang mematahkan hatinya juga. "Kamu jangan bilang gitu ya? Jangan pernah bilang kalo kamu itu penyakitan. Kamu anak mama yang sangat banyak tingkah, mana mungkin kamu selemah itu," tegas Dewi sembari tersenyum.
Sebelum melepaskan pelukan dari tubuh anaknya. "Mama jemput Sandy dulu ya? Kamu nggak papa kan ditinggal dulu," ucap Dewi berpamitan meraih tasnya di sofa ruangan rawat Arka.
Arka bisa melihat punggung mamanya yang sangat tegar keluar dari kamar inapnya. Padahal di baliknya, air mata Dewi sudah menumpuk di pelupuknya ketika menyentuh ganggang pintu untuk keluar dari ruang kemotrapi Arka.
☔☔☔
Setidaknya, mobilnya muat untuk berempat," ucap Rusdi mengambil bingkisan dari tangan Fenita dan memasukkan ke bagasi mobil sedan yang dua hari lalu dia beli.
"Aku jadi nggak sabar ngerasain suasana Semarang." Fenita tersenyum lembut kepada kedua orang tuanya. Sejak ia kembali ke rumah orang tua kandungnya, dia tidak sempat main ke kampung halaman ayahnya.
"Keluarga di sana pasti nggak akan bisa mengenali kalian," kekeh Alika.
Dari teras, Freya senang melihat keluarganya sudah berkumpul di dekat mobil. Sikap hangat saudari kembarnya terlihat mulai memaafkan ibu dan ayahnya. Dia bahkan paling semangat saat diajak ke Semarang.
"Lalu, kamu pulang kapan?" tanya seseorang dalam sambungan telpon Freya.
Freya masih sadar kalau dia sedang mengangkat telpon Arka. Sayang sekali dia harus membatalkan rencana kencan dengan cowok itu demi keluarganya. "Kita nggak nginap kok, nanti malam juga bisa pulang, jadi kita bisa pergi besok, kan?" jawabnya.
Terdengar sekilas suara tawa Arka. "Besok aku akan memperlihatkan kamu suatu tempat yang lebih indah. Aku juga akan mengatakan sesuatu padamu, Fre."
Mengatakan sesuatu? Perkataan Arka membuat Freya tidak sabar beranjak ke hari berikutnya. Makin besar keinginannya menunda rencana kunjungannya ke kampung halaman. Sesaat dia melihat keluarganya, dia juga tidak ingin melewatkan momen ini. Kembalinya Fenita adalah keinginannya sejak lama.
"Woi, Fre! Jangan pacaran terus!!" Fenita meneriaki Freya agar cepat masuk mobil.
"Ah, dia makin cerewet aja!" gerutu Freya.
"Siapa?" Arka juga dapat menangkap suara Freya.
"Itu, Si Ratu Fisika!"
☔☔☔
Rusdi mengaktifkan wiper saat rintik hujan mulai menghalangi kaca jendela depan mobil. Sementara istrinya yang duduk di belakang merangkul tubuh Freya di samping.
"Bunda kenapa sih?" heran Freya.
"Kamu kan takut hujan!" Alika tetap memeluk Freya.
Sedangkan Fenita yang duduk di samping ayahnya menoleh dan ikut tersenyum mengejek Freya.
"Aku cuma takut sama guntur, Bun. Kalo hujan doank, aku berani kok," protes Freya karna dia merasa diperlakukan seperti anak kecil oleh keluarganya.
"Yakin, padahal lo sering nggak mau keluar rumah cuma karna lihat langit mendung," timpal Fenita ikut meledek, lalu tertawa seram khasnya.
Freya mendengus pelan. Mau Fenita yang dingin ataupun yang hangat, dia tetap bicara tanpa hati. "Sesuatu yang mengubah pandangan gue, kalo saat kita beranjak dewasa, ketakutan apa pun itu sebaiknya harus dihilangkan," jelas Freya mengutip kalimat yang pernah Arka katakan padanya.
"Ayah suka quote-nya!" celetuk Rusdi membuat Fenita juga tertawa setuju. "Kalian itu masih SMA, belum begitu dewasa, bahkan mau sedewasa apa pun kalian, bunda kalian akan selalu nganggap kalian itu anak kecil." Rusdi terus menambahkan kalimatnya untuk dibekalkan pada anak-anaknya.
Alika hanya tersenyum, menunjukkan bahwa apa yang dikatakan suaminya memang sesuai kata hatinya. Menurutnya, anak-anaknya yang sudah tujuh belas tahun justru menjadi tantangan besar baginya. Dia harus lebih memperketat keamanan mereka agar tidak salah arah. Dia tidak ingin kalau kesalahan masa lalu itu terulang kembali. Saat itulah dia makin merekatkan pelukannya pada Freya.
Freya pun menyadari bahwa bundanya memiliki tujuan yang berbeda sekarang saat memeluknya. "Bunda sadar kalo aku takut hujan saat aku usia berapa?" tanya Freya. Karna seharusnya Freya yang sekarang adalah Fenita yang dipilih tetap tinggal dengan orang tuanya dulu tidak takut hujan.
"Kamu menangis malam-malam. Bunda kira kamu ngigoh, ternyata kamu takut karna malam itu hujan," cerita Alika langsung mengingat momen itu.
Sekarang Freya membalas dengan pelukan di pinggang Alika. "Siangnya sebelum malam itu, aku dan Fenita tukar posisi."
Seketika sunyi. Mobil ter-rem pelan di depan lampu merah. Suara tawa yang beberapa lalu memenuhi mobil mendadak satu keluarga itu saling terdiam dan merenung. Alika adalah orang yang paling bersalah karna tidak begitu mengenali anak-anaknya. Fenita hanya sekilas menutup matanya mengenang kisah itu. Freya masih memeluk Alika yang pelukanya makin merenggang.
"Wah, anak-anak ayah ini memang sangat pandai bermain peran!" pecah Rusdi kembali menjalankan mobil.
Fenita pun tertawa, disambut Freya. Melihat semua orang tertawa, Alika hanya terkekeh. Seolah-olah tidak pernah ada kejadian yang menyedihkan dalam keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
All I Hear Is Raindrops [END]✔
Teen Fiction"Aku bisa mendengar rintik hujan yang damai hanya dengan memejamkan mata." Arka El Raffi Arham, candu dengan rintik hujan. Anehnya di hari itu, bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya tiap kali hujan turun tiba-tiba sirna. - - -- - Arka mulai...