Tubuh Freya terjungkal dari tidurnya saat genggaman dalam tangannya terlepas. Cahaya mentari menyilaukan wajah seseorang di hadapannya yang terduduk di atas ranjang. "Udah jam pulang ya," ucap seorang cewek yang mirip sekali dengannya.
"Demam lo udah membaik?" Freya bangun dari kursi menyentuh dahi Fenita yang hendak beranjak dari brakar.
"Gue nggak papa," balas Fenita tersenyum miring.
Freya menghelah napasnya legah. "Lain kali jangan terlalu keras ya, Fen. Begandang tiap malam tuh nggak baik buat kesehatan," celoteh Freya menasehati saudari kembarnya.
Fenita tersenyum miring. Dia menyadari apa yang dia lakukan ternyata memang murni kemauannya. Dulu dia pikir hanya berusaha agar diakui oleh ibu angkatnya. Hingga sekarang dia bahkan keras pada dirinya sendiri. Pada akhirnya, dia melakukan semuanya untuk memuaskan diri. Dia begitu tergesah-gesah melihat masa depan yang ingin dia raih. Baginya, terus belajar akan mendapatkan nasib yang lebih baik.
"Lo juga, harus tetep belajar meskipun bodoh!"
Freya mengangah mendengar ledekan saudari kembarnya. Dengan begitu dia legah kalau Fenita tidak pernah berubah dengan wataknya. Mereka itu kembar di luar tapi tak sama di dalam. Fenita yang begitu ambisius, namun punya sisi mengalah jika berhubungan dengan orang yang dia sayangi. Sementara Freya yang begitu pemalas, dan selalu kalah. Jangan salah kalau dia hanya punya itu, Freya selalu berusaha membuat orang-orang di sekitarnya tetap tersenyum dengan sikap periangnya."Biar gue yang bawah tasnya." Freya mengambil tas Fenita yang hendak saudari kembarnya itu sandang.
"Nggak perlu. Tas gue berat. Lagian gue bukan anak manja kayak lo ya, Fre," balas Fenita tersenyum miring.
Freya menjewer sekilas telinga Fenita. "Gue ini kakak lo ya!"
Fenita sedikit meringis sakit. "Lagian, jangan genggam tangan gue waktu pingsan, lesbie tau!" gerutunya berjalan lebih dulu.
Freya melihat telapak tangannya. Sejak kapan dia merasakan genggaman hangat itu? Tiga bulan berlalu terasa berat baginya. Dia mengingat perasaan hampa ketika pagi datang, sementara malam indah itu sirna dalam dunianya. Freya harus menelan pil pahit sepeninggal Arka. Daripada menangisinya terus-menerus, Freya sekilas menutup matanya, menerima kenyataan kejam bahwa Arka datang kembali hanya untuk berpamitan padanya.
Freya dan Fenita lalu berjalan menelusuri setiap koridor kelas dengan banyak pembahasan. Sesekali Fenita hanya tersenyum simpul, sedangkan Freya terus bicara, di balik keceriaannya itu, dia menutupi kesedihannya.
Di gerbang sekolah, Freya terkejut melihat Erik melambaikan tangannya menghampiri mereka berdua.
"UAS di sekolahnya dimulai lebih dulu satu hari dari sekolah kita. Jadi hari ini dia libur sebagai ganti hari tenang sebelum ujian, katanya dia ingin mengajakku kencan," jelas Fenita bersamaan Erik menghampirinya."Lama nggak ketemu, Freya," sapa Erik. Freya langsung memberikan senyuman ramah.
Erik langsung memegang tangan Fenita, tapi tas Fenita langsung ditarik oleh Freya. "Dilarang mengajak Fenita kencan. Dia lagi sakit!" tegas Freya.
Fenita mendengus mendengar kakak kembarnya memberi perintah padanya. "Gue nggak papa," tampiknya.
"Kamu sakit?" Erik menyentuh dahi Fenita yang terasa hangat di pungung tangannya. "Aku antar pulang aja, aku juga pengen main ke rumah," ucap cowok itu.
Dengan wajah kecewa, Fenita tetap mengangguk lemas. Padahal Erik jauh-jauh menjemputnya, pada akhirnya kencan mereka tertunda karna kesalahannya tak menjaga kesehatan.
"Freya gimana?" tanya Erik setelah Fenita memakai helm.
Freya berjalan menjauhi mereka. "Jangan pedulikan gue," ucapnya mengangkat jempol tangan kananya.
"Langitnya mendung, Fre. Habis ini hujan loh," ledek Fenita.
Fenita lalu mengeluarkan payung lipatnya dari tas dan memberikannya kepada saudari kembarnya itu. "Nih pakek. Kayaknya bentar lagi udah hujan."
"Terus kalian?"
"Gue bawa jas hujan," jawab Erik.
"Lagian lo kenapa sih nggak pernah sedia payung, udah tau musim hujan," celoteh Fenita.
"Buat apa? Lagian gue nggak pernah bisa pulang kalo hujan."
Fenita pun menepuk bahu saudarinya. "Semangat!"
Setelahnya dia tersenyum melihat Fenita pergi bersama Erik mengendarai motor matik. Sekarang tinggal ia sendiri. Langit memang mulai berawan, padahal sudah memasuki bulan Mei. Hujan pun sudah jarang turun akhir-akhir ini. Dia berharap hujan tidak turun sebelum dia sampai di rumah. Naasnya, doa yang baru saja Freya panjatkan tidak terkabul. Rintik hujan mulai berjatuhan dari langit saat dia menengadahkan tangannya.
Freya menghelah napasnya. "Sial, bukan?" Mau tidak mau dia langsung membuka payung yang diberikan Fenita. Dia tetap berjalan, sedangkan rintik hujan makin lebat. Freya menutup matanya. Kakinya melangkah pelan-pelan, tapi hatinya mulai cemas, setidaknya dia tidak ingin berteduh untuk menantang rasa takutnya pada hujan.
Suara pecahan air hujan dari kakinya makin keras, suara rintik hujan pun tak kalah ramai. Seketika kehangatan menyentuh seluruh tubuhnya saat seseorang menyerondol begitu saja ke dalam payungnya. Freya pun membuka matanya, mendongkak ke atas. Seorang cowok yang sedang meringkuk di sampingnya. Sontak jantung Freya mencelos, dia berpikir Arka datang kembali. Momen seperti itu pasti jadi horor. Tapi cowok itu jelas bukan Arka. Garis pucat di bawah mata cowok itu saja yang memang sekilas mengingatkannya pada Arka.
"Boleh aku nebeng. Payungnya pas untuk berdua, kan?" ucap cowok itu mengambil alih pegangan payung Freya agar dia bisa berdiri tegap. Karna cowok itu jelas lebih tinggi daripada Freya.
"Aku harus ngulang ke kelas sebelas. Aku satu kelas sama Fenita." Cowok itu tersenyum malu.
Freya terus melongo. "Kak Raiden?"
Raiden hanya mengangguk menerima reaksi terkejut Freya. Ia lalu mengulurkan tangannya, sembari berkata, "Kembarannya Fenita, maukah kamu pulang bersamaku."
Mata Freya terbelalak. Ketika ucapan itu terdengar di telinganya, hujan seolah hanya menghembuskan angin yang lembut.
Hati Freya lantas membantin, "Apa dia, Arka?"
******Terima kasih buat kalian yang sudah baca cerita ini sampai tamat. Beri kesan dan pesan kalian ya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
All I Hear Is Raindrops [END]✔
Teen Fiction"Aku bisa mendengar rintik hujan yang damai hanya dengan memejamkan mata." Arka El Raffi Arham, candu dengan rintik hujan. Anehnya di hari itu, bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya tiap kali hujan turun tiba-tiba sirna. - - -- - Arka mulai...