Pemandangan di jendela kereta melesat cepat dari pandangan Freya. Dia terus merangkul kotak kayu milik Arka. Jantungnya ikut berdebar kencang menuju kota Bekasi yang penuh memorinya dengan Arka pada masa kecil.
Freya mencari tumpangan taksi setelah turun dari stasiun. Di dalam taksi, dia sekilas mengintip isi dompetnya. Dia seharusnya akan lebih hemat kalau dia menemukan angkot atau ojek motor.
Sesampainya di tempat tujuan, Freya membayar taksi di pinggir jalan. Dia melanjutkan jalan kaki, hampir beberapa langkah melihat sebuah sekolah dasar yang sepi karna liburan panjang.
Freya menyentuh pagar sekolah, dari sana dia melihat lobi sekolah di mana dia dulu sering terjebak hujan, dan langsung menangis dengan cengengnya. Saat itu juga Arka sering datang padanya dan menawarkan pulang bersama dengan payung yang selalu sedia dia bawa. Andaikan Arka tidak pindah dan dirinya bisa bertahan sampai sekarang di sini. Freya tak ingin sesingkat itu berada di sekitar perjalanan hidup Arka.
"Neng, cari siapa? Kebetulan sekolahnya masih libur!" Seorang satpam sekolah menghampiri Freya yang sejak tadi memandangi sekolah itu.
"Eh, enggak, Pak. Saya alumni di sekolah ini, sedikit nostalgia aja, hehe..." curhat Freya.
"Oh, kemarin juga ada yang bilang gitu," balas satpam.
Freya lantas mengangkat sebelah alisnya. "Maksudnya?" tanyanya.
"Iya, kemarin ada lelaki seumuran neng gini, kasian dia pakai kursi roda dianterin suster, dia bilang lagi nostalgia lihatin sekolah ini," jelas satpam.
Cerita satpam itu mengejutkan Freya. Pikirannya mulai terganggu dengan lelaki berkursi roda itu. Dia hanya menembak kalau itu memang Arka. "Bapak tahu, lelaki itu tinggal di mana?" tanya Freya tegang.
"Aduh, Neng. Mana saya tahu, saya aja baru lihat dia kemarin."
☔☔☔
Freya terduduk di sebuah ayunan yang sudah berkarat. Setiap bergerak, suara ayunan begitu menganggu telinga, namun pikiran Freya lebih terganggu oleh segala praduganya. Perkataan satpam tadi masih terngiang di kepalanya. Siapa? Apakah Arka? Meski bukan dia dan Arka saja yang pernah sekolah di sana, hati Freya begitu kuat merasakan kehadiran Arka.
"Aku suka tempat ini." Suara Arka seolah nyata dalam memorinya. Bayangan anak lelaki yang selalu mengajaknya ke tempat ini sepulang sekolah. Menghiburnya yang sudah tak betah lagi di rumah karna penekanan dari ibu angkatnya.
"Tinggalkan aku sendirian." Freya tersadar dari lamunannya setelah mendengar kalimat Arka yang tidak pernah tertanam dalam memorinya. Arka tidak pernah ingin ditinggalkan sendirian. Dia lantas menoleh ke arah suara itu. Tak jauh dari ayunan yang dia tumpangi. Dia melihat dari belakang sosok yang duduk dengan kursi roda, juga kupluk beani yang membungkus rambut lelaki itu.
Freya akhirnya memilih berjalan pelan menghampiri cowok itu. "Arka," panggilnya.
Arka menegakkan punggungnya mendengar seseorang memanggilnya. Dia menoleh, sementara Freya berjalan maju di hadapan Arka dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sudah sangat rindu dan selalu khawatir dengan keadaan Arka
"Fenita?" Arka memanggil nama kecil Freya.
"Enggak, Ar. Aku Freya," jawab Freya.
"Kamu Fenita, teman masa kecilku, cinta pertamaku," tegas Arka tersenyum simpul dengan wajah pucatnya yang tidak Freya temui dalam mimpinya.
Arka berusaha berdiri dari kursinya meski sempoyongan. Freya sudah berusaha agar Ara tidak memaksakan diri. Pada akhirnya, Arka bisa meraih tubuh Freya untuk dia peluk. "Maaf, aku berbohong," ucap Arka.
Freya semakin mengeratkan pelukkannya pada tubuh Arka yang rapuh. Terasa bahwa Arka semakin kurus dengan tubuhnya yang dingin. Tidak ada kata yang bisa diungkapkan oleh Freya. Sejujurnya dia ingin marah karna Arka memberi kabar palsu tentang pengobatannya ke Singapura. Sekarang dia hanya ingin meluapkan rasa rindunya pada Arka.
Sesaat, Freya tidak mampu lagi menompang tubuh Arka. Mereka lalu terjatuh ke rumput taman. Tatapan keduanya bertemu saat Freya berada di atas Arka yang terlentang di atas rerumputan.
"Arka!" Sosok suster paruh bayah pun berlari menghampiri Arka, dan membantu Arka kembali duduk ke kursi roda.
"Aku nggak papa," jelas Arka setelah suster bertanya keadaannya.
"Arka, maaf," ucap Freya merasa bersalah.
Arka menganggukkan kepala sembari tersenyum simpul. Dia miris sendiri melihat keadaan kakinya yang sudah lumpuh.
"Ini keadaanku sekarang, aku nggak mau kamu tahu, Fre kalau beberapa bagian tubuhku udah lumpuh. Aku juga lupa-lupa ingat sama teman satu sekolah kita, aku juga sempat lupa kamu sehari yang lalu. Tapi aku selalu berusaha untuk tetap ingat, terutama tentang kamu. Sepertinya, tubuhku udah nggak bisa bertahan lebih lama, dan aku nggak tahu, apa yang harus aku lakukan untuk kamu," jelas Arka.
Freya langsung menyekah setiap tetes air matanya yang baru jatuh dari pelupuknya. Dia meraih kedua tangan Arka. "Kamu nggak perlu melakukan apa pun untuk aku, Ar. Cukup kamu sehat lagi, kita jalan-jalan lagi, kita nyanyi lagi, kita berangkat sekolah lagi," ucap Freya yang berakhir dengan tangisnya.
Arka lalu menyentuh kedua pipi Freya, menyuruh cewek itu mengangkat pandangannya. "Ayo, kita nikmati malam tahun baru," ajaknya.
☔☔☔
Freya dengan semangat membara membantu Arka mendorong kursi rodanya masuk ke sebuah gerbang khas kastil. Di dalamnya ramai pengunjung menikmati berbagai wahana. Mata Freya yang berbinar pun mendadak redup.
"Hanya wahana anak-anak?" gumamnya melihat lapangan khusus mobil remot dan wahana permainan lainnya.
"Apakah aku ngajak ke sini untuk naik wahana dengan kakiku yang seperti ini?" balas Arka terkekeh.
Freya menunduk sedih, melihat kaki Arka yang terus berada di atas pijakan kursi roda. Dia mengingat momen saat Arka begitu ngotot naik bianglala bersamanya di pasar malam sebulan yang lalu. Freya berharap suatu hari nanti Arka bisa melakukan itu lagi.
Arka mendongkak wajah Freya yang murung. Apa dia salah mengajaknya ke sini? Bukankah dia yang sedih karna tidak bisa melakukan apa pun di sini selain melihat-lihat.
"Kemarin Sandy ingin mengajakku ke sini, sayangnya aku ambruk saat itu sebelum kita berangkat, jadi dia berangkat hanya bersama papanya," jelas Arka.
"Tapi kamu mengajakku sekarang, kalau Sandy tahu, apakah dia akan marah sama kakaknya, atau sebaliknya dia akan marah sama orang yang diajak kakaknya datang ke sini?" Freya menorong berlahan kursi roda Arka menelusuri setiap pemandangan di wisata tersebut.
"Kalimat yang nggak pernah aku sangkah waktu itu," Arka menggantungkan ucapannya, "dia bilang, kalo aku bisa mengajak pacar kakaknya ini, yang datang saat pernikahan orang tua kami."
Freya tercengang sampai jantungnya ikut berdegup keras sekilas. Sandy sampai menganggapnya sebagai pacar Arka.
"Maaf, Fre. Aku hampir melupakanmu seharian, tapi syukurlah Sandy mengingatkan lagi tentang kamu," lanjut Arka tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
All I Hear Is Raindrops [END]✔
Novela Juvenil"Aku bisa mendengar rintik hujan yang damai hanya dengan memejamkan mata." Arka El Raffi Arham, candu dengan rintik hujan. Anehnya di hari itu, bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya tiap kali hujan turun tiba-tiba sirna. - - -- - Arka mulai...