"Hanya mendapatkan juara kedua?" bentak seorang wanita berkursi roda melemparkan secangkir teh di tangannya ke lantai. Pecahan cangkir itu nyaris mengenai kaki Fenita.
Fenita masih enggan menatap mata mamanya yang terlihat sangat kecewa. Piala yang ada di genggamannya pun dia remas keras. Seberapa pun pencapaian yang dia peroleh, mamanya tidak pernah bisa menghargainya. Padahal Fenita sudah sampai jauh-jauh ke Singapura untuk mengikuti olimpiade Fisika se-Asia Tenggara.
"Ini olimpiade internasional, Ma. Saingannya terlalu berat."
"Alasan apa itu?!" tampik mamanya. "Apa waktu yang dibutuhkan untuk menghafal semua soal masih kurang cukup? Atau kamu yang lalai?"
"Mama sudah berpikiran positif bahwa kamu akan membawa pulang piala yang lebih tinggi!"
Fenita sekilas memejamkan matanya, setiap kalimat yang diucapkan mamanya selalu tertanam luka dalam hatinya. "Aku muak dengan ini!" jawab Fenita langsung membanting piala yang dia pegang bagian-bagiannya berhamburan ke lantai, juga melepaskan medali yang mengalung di lehernya sampai membuat mamanya sekejap bungkam sembari memegang dadanya karna kaget.
"Aku capek!" tegas Fenita. "Semua yang aku lakukan nggak pernah puas untuk mama, kan?"
Mamanya terkejut mendengar bentakkan Fenita. Padahal anak angkatnya itu tak pernah berkata kasar. Selama ini Fenita selalu taat dengan semua yang dia perintah. Mungkin ini yang disebut puncak emosi dari cewek pendiam yang selalu Ia tekan mentalnya.
"Fen, apa kamu nggak sadar sudah menaikkan nada suaramu pada mama?" tanya mamanya.
Fenita tidak merasa bersalah ataupun khilaf. Dia memang sudah tidak tahan lagi dengan sikap mamanya sejak dia kecil. Fenita bahkan serasa hidup menjadi robot yang selalu berada dalam kontrol mamanya. Dia jarang sekali menikmati kesenangan seperti anak seumurannya.
"Kamu seharusnya paham kenapa mama melakukan ini?" tegas mamanya.
Fenita mengangguk dengan senyuman miring jijiknya. "Untuk menjadi penerus perusahaan mama?"
"Kamu seharusnya merasa beruntung kan sebagai anak angkat yang mewarisi harta mama yang hidupnya nggak lama lagi?"
Fenita menyipitkan matanya meratapi keadaan mamanya yang selama dua tahun hanya duduk di atas kursi roda karna penyakit komplikasi yang melumpuhkan kaki wanita itu.
"Lebih baik mama mati," ucap pelan Fenita menahan agar tidak ada setetes pun air mata yang jatuh. Dia tidak ingin terlihat seolah dia tidak tega mengatakan kalimat yang sangat menusuk itu. Saat itu juga Fenita melihat air mata mamanya yang justru mengalir ke pipi.
Fenita menarik napasnya dalam-dalam. Setiap kali dia ingin melangkahkan kakinya ke panggung olimpiade, dan setiap kali dia harus menerima piala kejuaraannya, dia selalu mengingat momen itu. Dia juga tak pernah berpikir bahwa di hari itu, dia telah mendoakan mamanya agar lekas meninggal. Mamanya jatuh dari kursi roda ketika dia hendak pergi. Sesampainya di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa mama angkatnya itu sudah tidak bisa lagi diselamatkan.
Pembawa acara mulai membuka sesi pengumuman pemenang. Kali ini Freya dan Alika sangat antusias untuk mendengarkan. Juara ketiga mulai dipanggil namanya dan semakin membuat jantung Freya bergetar, dia selalu berharap saudari kembarnya itu menang.
"Dan juara satu, diraih oleh..." suara pembawa acara itu menggantung, membuat semua peserta sekaligu penonton penasaran, "Fenita Amalia Hamzani."
Saat nama Fenita disebut, Freya yang paling heboh tepuk tangannya. Bahkan dia adalah orang yang pertama memberi tepuk tangan, lalu disambut semua orang, begitu juga Alika tak kalah bahagianya melihat anaknya menjadi pemenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
All I Hear Is Raindrops [END]✔
Teen Fiction"Aku bisa mendengar rintik hujan yang damai hanya dengan memejamkan mata." Arka El Raffi Arham, candu dengan rintik hujan. Anehnya di hari itu, bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya tiap kali hujan turun tiba-tiba sirna. - - -- - Arka mulai...