"Bunda membuatkan sup ayam kesukaan kamu dan Fenita. Bunda jadi ingat saat kalian masih kecil," ucap Alika sembari meletakkan semangkok sup di meja makan.
Alika langsung melihat Freya, karna tidak ada respon dari anaknya itu. Ternyata Freya hanya bengong menatap piring kosongnya. Nyawa Freya masih berdiri di gerbang sekolah, memikirkan Arka yang tiba-tiba datang menjemput saudari kembarnya. Dia tidak bisa menebak kemana mereka berdua pergi. Tapi untuk apa juga Freya memikirkan hal itu, bukankah dia juga punya hidup sendiri tanpa harus memikirkan kehidupan orang lain. Hatinya saja yang tidak bisa ditahan, rasa nyeri yang masih menusuk-nusuk dan semakin dalam.
"Astaghfirullah, semoga tetap dalam lindungan-Mu," ucap Alika dengan nada tinggi sampai Freya tersentak kaget.
"A-ada a-apa, Bun?" tanya Freya linglung.
"Kamu itu ada apa? Dari tadi bengong aja, kesambet setan nanti." Geleng-geleng Alika, Freya hanya menggaruk lekuk lehernya.
Tak lama Fenita baru masuk ke rumah tanpa salam, bahkan dia tidak menoleh ke arah kedua anggota keluarganya yang duduk di meja makan. Tapi setelah Alika memanggilnya, langkahnya pun berhenti.
"Makan sekalian, bunda udah buatin sup kesukaan kamu," ucap Alika dengan senyuman lebar.
"Nggak perlu memperhatikan Fenita," balas Fenita menoleh ke arah meja makan dengan tatapan sinis. "Perhatikan saja Freya, bukankah anakmu hanya Freya. Fenita tidak begitu penting untukmu," tekan Fenita.
Hati Alika langsung bergetar saat kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut anaknya snediri. "Maksud kamu apa sih, Fen?!" tanya Alika dengan nada yang lebih tegas.
"Kamu masih bertanya dengan semua perbuatanmu. Benar-benar merasa tidak bersalah." Fenita langsung berjalan menuju kamar dengan genggaman tangan yang semakin mengeras.
Freya menganga lebar dengan sikap saudarinya itu dan melihat Alika yang berusaha menahan kesabarannya. Karna sangat geram, Freya pun berdiri dan mengejar langkah Fenita.
Sampai di depan pintu, saat Fenita hendak meraih ganggang pintu kamar, tamparan yang begitu keras mendarat di pipinya sampai dia langsung tertunduk dan rambut panjangnya itu menutupi wajahnya.
"Gue sengaja menampar lo, bahkan ini belum seberapa menyakitkan saat lo bilang kalimat itu sama bunda," marah Freya meledak.
Fenita malah terkejut, karna sebelumnya dia tidak pernah melihat Freya semarah itu padanya. Dia lalu terkekeh, tapi matanya sudah memendam air mata.
Alika yang mendengar keributan itu dan bahkan terdengar suara tamparan, langsung gegas menghampiri mereka.
"Bagus lo bisa setegas ini, Fenita," ucap Fenita pada Freya.
Freya langsung melototkan matanya, sepertinya nama panggilan itu sudah tidak pantas lagi untuknya.
"Gue hanya ngebelain lo, tapi kenapa lo ngebelain mereka terus-menerus. Gue malu punya kakak yang bodoh!" ucap Fenita yang sebenarnya dulu lebih dikenal Freya.
"Apa mungkin gue memang kurang dewasa untuk menerima semua kenyataan, bahkan untuk memaafkan orang tua kandung kita, Fen? Begitu?" tanya Fenita. Sedangkan Freya malah bungkam. Keduanya mulai perang air mata.
"Gue emang keras kepala. Selama ini lo selalu bersikap baik pada mereka. Tapi, gue? Gue terlalu dendam." Fenita masih melanjutkan kalimatnya.
Tanpa kata, Freya memeluk Fenita dengan erat dan memecah tangisnya. "Gue yang selalu menjadi anak kecil. Semuanya harus lo tanggung, padahal gue adalah kakak lo, maaf..." balas Freya memecahkan tangisannya.
Seketika suara sesuatu ambruk di lantai membuat kedua cewek kembar itu melepaskan pelukan mereka. Melihat Alika yang tergeletak pingsan, keduanya pun sergap menolong bunda mereka dan membopongnya ke kamar mereka, karna lebih dekat. Mungkin Alika sudah mendengar percakapan mereka tadi, tentu saja mengetahui kenyataan kalau selama ini anak kembarnya bertukar posisi membuatnya syok.
KAMU SEDANG MEMBACA
All I Hear Is Raindrops [END]✔
Jugendliteratur"Aku bisa mendengar rintik hujan yang damai hanya dengan memejamkan mata." Arka El Raffi Arham, candu dengan rintik hujan. Anehnya di hari itu, bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya tiap kali hujan turun tiba-tiba sirna. - - -- - Arka mulai...