PART 21

14 2 0
                                    


Halo pembaca ALL I HEAR IS RAINDROPS.
Maaf ya sebelumnya aku buat bab baru ini mau nyambungin cerita aja kok. Soalnya ada yang perlu dijelasin aja sama hubungan antara Erik, Fenita, dan Sani, biar pembaca nggak bingung hehe...

Happy Reading yakk📖🤗
Jangan lupa kasih voment ya.

☔☔☔

Sani merengut saat tahu Erik pulang bersama Fenita. Cowok itu langsung menangkap pelukan ibunya yang dengan suara terisak-isak lantaran ditinggal selamanya oleh suami tercinta. Di antara anggota keluarga dan orang-orang yang sedang berduka di dalam rumah itu, Sani masih sempat-sempatnya menyeret Fenita menjauh dari sana.

"Lo ngapain sih pakek ikut ke sini?" tanya Sani saat keduanya sudah ada di halaman rumah.

"Gue cuma nganterin Erik. Dia nggak bisa nyetir motor sendiri saking syoknya setelah denger kabar bokapnya meninggal," jelas Fenita.

"Halah alasan aja lo! Lo kenapa sih, Fen nggak bisa jaga jarak sama pacar gue? Niat lo makin kelihatan tau nggak, kalo lo emang sengaja buat Erik berpaling sama gue," tuding Sani selalu berburuk sangka pada Fenita.

"San, please! Ini bukan waktunya bahas tentang kesalahpahaman lo itu ya."

"Tapi itu kenyataannya kan? Lo emang sengaja buat Erik lebih jatuh cinta ke elo kan?"

Fenita sangat lelah menghadapi Sani yang terus-terusan mencecarnya. "Ada apa sih sebenarnya, San? Emangnya Erik bilang kalo dia jatuh cinta sama gue?" balasnya sampai membuat Sani kelagapan.

"Pede banget lo! Gue cuma nggak suka ya lo dekat-dekat sama Erik. Dia nggak butuh penghiburan temannya di sini. Dia cuma butuh keluarga dan pacarnya, yaitu gue. Lo harus tau diri, dan segera pergi dari sini." Sani mendorong pelan pundak Fenita, berniat menyingkirkan cewek itu dari kediaman rumah Erik.

"Woi! Bisa jaga sikap nggak sih lo sama Ratu Fisika!" Rina yang baru saja datang bersama rombongan satu kelasnya langsung mencengkram lengan Sani hingga ringisan keluar dari mulut cewek itu.

Fenita langsung meminta Rina agar tidak membuat keributan di depan halaman rumah duka yang banyak pelayat, apalagi disaksikan oleh teman sekelas mereka. Rina akhirnya menahan emosinya yang sudah memucak ketika melihat teman sebangkunya yang selalu dia hormati diperlakukan seperti itu.

"Fen, jadi ini yang namanya Sani. Katanya dia sahabat lo waktu SMP, tapi kok kelakuannya keterlaluan gitu sih," sinis Rina menajamkan matanya tidak suka pada pertemuan pertamanya dengan sahabat SMP-nya Fenita.

"Sorry ya gue nggak kenal sama lo," congkak Sani meninggalkan mereka.

Tangan Rina sudah mengepal ingin memukul muka cewek itu. "Fen, lo seharusnya ngeluarin kata-kata sadis lo kek biasanya donk! Masa diem aja sih!" kesalnya.

"Gue sama dia sebenarnya sama-sama keras kepala dan susah ngelepasin apa yang kita mau. Cuma Sani itu apa-apa selalu pakek perasaan, semua dia bawa emosi. Gue juga harus nahan perkataan sadis gue supaya dia nggak makin tersinggung," jelas Fenita.

"Cih! Nggak nyangka Ratu Fisika punya sisi baik juga."

"Maksud lo, gue cuma punya sisi jahat gitu?"

"Lo bahkan kelihatan nggak pernah peduli sama orang lain."

"Apa seburuk itu?"

"Jangan-jangan lo selalu merasa jadi manusia paling mulia lagi?"

Fenita hanya tersenyum tipis. "Tahu kan? Julukan gue aja semahal itu."

"I see...I see..." Rina mengiyakan perkataan songong Fenita seperti biasanya.

☔☔☔

Fenita hanya bisa melihat Erik yang menangis tersedu-sedu di nisan ayahnya setelah proses pemakaman selesai dan satu persatu pelayat pulang. Untuk pertama kalinya dia melihat cowok itu menangis. Bisa dibilang Erik memang sangat dekat dengan ayahnya. Cowok itu pasti sangat kehilangan. Apalagi waktu sesingkat itu menjemput ayahnya kembali ke pangkuan Tuhan setelah usaha keluarganya bangkrut dan membuat ayahnya jatuh sakit hanya dalam seminggu.

Rina menyentuh pergelangan tangan Fenita. "Yuk pulang," ajaknya.

Langkah Fenita begitu berat meninggalkan lokasi pemakaman. Tapi dia bisa apa di sana. Dia tidak bisa menenangkan Erik karna Sani selalu ada di samping cowok itu. Dia pun harus pergi begitu saja.

Selang beberapa menit makam itu langsung sepi. Erik dan ibunya masuk mobil milik pamannya yang datang dari Bekasi. Sani juga ikut bersama Erik di dalam mobil itu. Cewek itu tetap setia di sisi orang yang ia cintai.

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Erik sampai tiba di rumahnya. Rumah yang makin mengingatkan kenangannya bersama ayahnya sejak pindah ke Jakarta dan mulai membangun bisnis di sana. Padahal baru dua tahun berjalan, tapi semua berakhir begitu cepat.

Sani hendak mengikuti Erik sampai masuk kamar, tapi cowok itu menautkan alisnya. "Biarin gue sendiri. Lo nggak perlu nemenin gue terus. Inget ya, kita udah putus." Erik langsung menutup pintu kamarnya, meninggalkan Sani di depan pintu itu.

"Lo? Gue? Jadi kita beneran udahan nih?" Sani mendengus kencang.

Erik kembali membuka pintu kamarnya sampai membuat Sani terkejut. "Ya. Kita udahan. Lo sendiri yang nggak pernah nerima kan? Dan jangan pernah bilang kita masih pacaran sama Fenita lagi."

"Rik, kenapa kamu jadi bahas Fenita? Kamu itu lagi berduka atas meninggalnya ayah kamu," ucap Sani.

"Bukannya lo sendiri yang bahas tadi sama Fenita di halaman rumah? Lo pikir gue nggak tau? Di saat keluarga gue lagi berduka, lo malah mikirin perasaan lo sendiri."

Sani langsung bungkam. Melihat mata Erik yang sudah memerah dan ucapannya yang sangat menyinggungnya.

"San, gue kacau hari ini. Jangan bawa-bawa masalah yang lo buat sendiri," tegas Erik.

"Masalah yang gue buat sendiri? Ini masalah kita, Rik. Hubungan kita renggang sejak kamu pindah ke Jakarta tau nggak. Kamu putusin aku sejak kamu satu sekolah sama Fenita. Apa aku salah kalo aku merasa dia yang ngerusak hubungan kita?" Nada tinggi Sani membuat Erik menarik cewek itu masuk ke dalam kamar agar beberapa kerabat ibunya tidak mendengar percakapan mereka berdua yang di luar permasalahan yang terjadi di keluarganya.

"Sejak awal, lo udah tau kan kalo gue sukanya sama Fenita?" tanya Erik sambil menutup pintu kamarnya. "Sejak awal juga, lo tahu kalo Fenita ingin menyatakan perasaannya sama gue. Dan sebenarnya di sini, lo itu pihak ketiganya, San."

"Tega ya kamu bilang kayak gitu, Rik! Justru Fenita yang jadi pihak ketiga."

"Lo masih belum sadar? Seharusnya kalo lo sahabatnya Fenita, lo harus lebih jujur."

"Bukannya kebalik, kalo Fenita sahabatku, seharusnya dia nggak akan ngerebut kamu dari aku?"

Erik mengacak rambutnya frustasi. Sani belum juga menyerah mempertahankan hubungan mereka berdua. "Justru kalo bukan karna Fenita, kita nggak akan pernah jadian. Dia nyuruh gue buat nembak lo saat dia sendiri punya perasaan sama gue. Gue nyesel banget, ternyata gue pacaran sama cewek yang serakah, egois, juga dungu."

PLAK!

Erik akhirnya mendapatkan hadiah dari perkataannya yang teramat jujur itu. Sani benar-benar kepanasan mendengar semua caci maki Erik padanya.

Sakit hati oleh perkataan cowok itu, Mata Sani hanya bisa berkaca-kaca dan beranjak keluar dari kamar Erik.

"Satu lagi, lo harus banyak-banyak intropeksi diri!" pesan Erik sebelum Sani keluar dari kamarnya. Entahlah, urusan didengar atau tidak perkataannya, dia lega bisa menyampaikan semua apa yang ingin dia sadarkan pada cewek itu.




All I Hear Is Raindrops [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang