Bagian 4 : Dewana

703 106 26
                                    

Siapa yang tidak akan merasa jenuh jika bertemu dengan mata pelajaran Matematika, Kimia, serta Fisika di satu hari yang sama? Ayolah, rasanya kelopak mata Ana akan segera tertutup rapat sebentar lagi. Gadis itu benar-benar mengantuk ketika Bu Diah sedang menjelaskan materi tentang Laju Reaksi.

"Secara logika, pada saat bereaksi, zat reaktan pasti semakin berkurang. Sedangkan zat produk pasti akan bertambah. Sederhananya begini, Reaktan, berarti laju reaksi adalah berkurangnya konsentrasi zat tiap satuan waktu. Sedangkan Produk, berarti laju reaksi adalah bertambahnya konsentrasi zat tiap satuan waktu. Selain itu...."

Penjelasan dari Guru Kimia berusia lima puluh tahunan itu, sudah seperti dongeng pengantar tidur yang membuat mata Ana benar-benar terpejam selama beberapa saat. Sampai pada saat ia merasa bila namanya dipanggil, barulah matanya kembali terbuka.

"Nyenyak tidurnya, Ana?"

Gadis itu kelabakan bukan main ketika Bu Diah sudah berdiri tepat di samping mejanya. "Ma-maaf, Bu. Saya nggak sengaja ketiduran."

"Sana cuci muka." Perintah Bu Diah.

"Baik, Bu." Ana keluar kelas setelahnya. Ia benar-benar merasa malu karena telah ketahuan tertidur saat jam pelajaran sedang berlangsung. Andai saja tadi malam ia tidak meminum obat sakit kepala yang mengandung kafein, mungkin ia tidak akan terjaga sampai pukul tiga pagi. "Astagfirullah, ngantuk banget."

Dengan langkah gontai, gadis itu masih berusaha keras untuk menetralisir rasa kantuknya. Ia membasuh seluruh wajahnya dengan air keran, setelah sampai di toilet. Di wastafel, Ana bercermin dan mendapati kedua matanya yang benar-benar terlihat sayu.

Ia kembali membasuh wajahnya sampai rasa kantuknya sedikit berkurang. Ana merapikan kerudung yang ia kenakan karena sedikit berantakan. Pergerakan tangannya sedikit terhenti ketika mendengar suara teriakan dari toilet sebelah. Toilet siswa.

Bulu kuduk Ana langsung meremang seketika. Ia tahu tentang rumor bahwa toilet sekolahnya memang terkenal angker. Tapi, bagaimana bisa harus ia sendiri yang mengalaminya? Yang benar saja. Ana segera keluar dari toilet, tapi sebuah suara teriakan membuat langkahnya terhenti. Suara manusia.

"Ada yang ke kunci kali ya?" Gadis itu menatap ke arah toilet siswa yang tampak sepi. "Tapi kayak nggak ada orang. Apa aku salah denger? Bodo amatlah, mending balik ke kelas aja."

"Siapa pun yang denger suara ini. Tolong bukain pintunya, ada yang ke kunci di toilet pojok." Suara itu kembali terdengar. Tapi kali ini dengan kalimat yang sangat jelas.

"Tuh kan, ada yang ke kunci beneran ternyata. Tapi, masa iya aku harus masuk ke dalam toilet cowok sih? Nanti kalo ada yang lihat, terus jadi salah paham gimana?" Ana merasa ragu.

"Tolongin gue... gue lagi ulangan Biologi. Siapa pun tolongin gue. Tolong bukain pintunya." Teriakan itu kembali terdengar.

"Kasian juga kalo aku tinggalin gitu aja. Tuh orang lagi ulangan juga katanya." Persetan dengan segala rasa ragunya. Ana memutuskan untuk masuk ke dalam area toilet siswa untuk membantu seseorang yang terkunci itu.

"Ada yang ke kunci di kamar mandi, tolong bu-" kalimat itu terjeda setelah seseorang membuka pintu toilet dari luar. "Alhamdul-" dan lagi, kalimatnya kembali terjeda.

"Kamu nggak apa-apa kan?" Tanya Ana ketika mendapati seseorang yang terkunci itu sudah berwajah pucat. Tidak ada respon apa pun dari anak lelaki bertubuh tinggi di hadapannya itu. "Saya balik ke kelas dulu ya. Lain kali jangan sampe ke kunci lagi. Permisi." Ana langsung bergegas pergi karena situasinya sangat akward. "Minimal bilang makasih kek, apa kek, jangan diam aja. Udah ditolongin juga." Gadis itu menggerutu.

Dirgantara & CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang