Kurang lebih sudah hampir lima menit Dirga berdiri di depan pintu lemarinya yang terbuka lebar. Lelaki itu bingung harus menggunakan baju yang seperti apa untuk datang bertamu ke rumah Ana.
"Loh, kok belum siap-siap, Dirga?"
Dirga mengacak rambutnya dengan kasar. "Bingung, Bu."
"Bingung kenapa?"
"Bingung mau pake baju apa." Ia tersenyum kikuk.
"Sini, biar Ibu bantu pilihin baju yang cocok buat kamu."
Bola mata Dirga langsung berbinar ketika ibunya dengan baik hati mau membantu menyelesaikan kebingungan yang tidak berujung itu.
"Yang ini cocok nih, Dir." Pilihan Ibu Dirga jatuh kepada batik lengan panjang berwarna cokelat tua.
"Itu udah pernah aku pake kondangan, Bu."
"Memangnya kenapa? Calon istri kamu juga nggak bakal tau kan?"
Pertanyaan itu berhasil membuat pipi Dirga terasa memanas. Ia dibuat salah fokus dengan kata 'calon istri' yang baru saja ibunya ucapkan.
"Dir, kok malah senyum-senyum sendiri begitu sih?"
"Tadi Ibu ngomong apa, Bu? Calon istri aku?" Dirga tersipu malu mengucapkan kalimat yang terakhir.
"Ya terus calon istri siapa kalo bukan calon istri kamu? Masa iya Papa kamu mau menikah lagi?"
Dirga benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan raut bahagia dari wajahnya. Hatinya benar-benar ingin meledak. Siapa sangka, cinta pertamanya saat duduk di bangku SMA dahalu, sebentar lagi akan menjadi teman hidupnya.
Sehari setelah Dirga mengatakan ingin bersilaturahmi ke rumah Ana bersama keluarganya, perempuan itu memberikan kontak Abangnya kepada Dirga melalui DM Instagram. Ana mengatakan jika Dirga harus menghubungi Abangnya terlebih dahulu untuk meminta izin bertamu.
Tanpa menunggu waktu, saat itu juga Dirga langsung menghubungi nomor Gama, Abangnya Ana. Gama meminta berbicara melalui panggilan telepon, dan Dirga menyanggupi hal itu. Mereka berbicang sekitar sepuluh menit. Percakapan awal dimulai dengan memperkenalkan diri satu sama lain.
Berlanjut dengan Gama yang mengajukan pertanyaan yang pada saat itu langsung berhasil membuat Dirga panas dingin karena merasa gugup.
"Maaf sebelumnya, tapi saya agak ambigu dengan tujuan silaturahmi kamu. Mungkin bisa dijelaskan sedikit secara spesifik?"
Itulah bunyi dari pertanyaan Gama. Pada saat mendengar itu, Dirga hanya mampu berkata dengan jujur dan ala kadarnya sesuai dengan isi hatinya. Ia juga sudah menyiapkan ruang ikhlas di dalam hatinya apabila Gama menolak niat baiknya tersebut.
"Jujur aja, Mas, sebenarnya sudah sejak lama saya tertarik sama Ana, bahkan sudah dari zaman SMA dulu. Tapi sayangnya, nyali dan modal saya baru terkumpul sekarang buat meminta Ana secara resmi ke keluarganya."
"Sekiranya kalau memang Mas Gama nggak keberatan dan memberikan izin, insyaallah tujuan saya silaturahmi ke rumah Mas, bukan cuma sekadar untuk silaturahmi aja. Saya berniat untuk mengkhitbah Ana, adik Mas."
Jawaban spotan yang keluar dari mulut Dirga bukanlah sebuah bualan semata. Ia serius dengan ucapannya dan sudah mendiskusikan hal itu dengan kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...