"Yang sudah selesai, boleh langsung dikumpulkan ke depan ya bukunya."
"Baik, Pak..." semua murid 11 IPA 4 dengan kompak menjawab perintah dari Pak Dani, guru Bahasa Arab.
Satu persatu mulai maju ke depan untuk mengumpulkan buku masing-masing. Begitu juga dengan yang Ana dan Puput lakukan.
"Kayaknya nilai gue bakal jeblok banget deh, Na." Keluh Puput.
"Aku juga sama nih kayaknya. Tadi nomor dua sama empat aku isi asal-asalan." Ana ikut mengeluh.
"Kenapa ya, gue nggak pernah mudeng kalo pelajaran Bahasa Arab?"
"Mana aku tau." Ana merapikan buku dan alat tulis miliknya, memasukan ke dalam tas dan bersiap menunggu bel pulang berbunyi. "Kamu jadi ke rumah Nadine, Put?"
Puput mengangguk. "Jadi. Lo mau ikut nggak?"
"Pengen sih, tapi aku lagi banyak kerjaan di rumah."
"Ibu lo masih kerja di rumah makan yang waktu itu, Na?"
"Hm, masih." Ana mendadak sedih ketika mengingat Ibunya. Membayangkan berada di posisi beliau saja, sudah terasa begitu lelah. Apalagi menjalaninya? Ah sial, Ana benar-benar ingin menangis saat ini juga.
"Na, gue duluan ya. Lo hati-hati pulangnya."
Suara Puput membuyarkan segala lamunan gadis itu. "Kamu juga hati-hati, Put. Salam buat Nadine."
Gadis berdarah Tionghoa-Palembang tersebut hanya mengangguk sambil tersenyum lebar, sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu, sesaat setelah bel pulang berbunyi.
"Na.."
Ana langsung mendapati Zidan yang sudah berada di samping mejanya. Ia sudah terlihat rapi dengan memakai hoodie abu-abu andalannya.
"Ngeliatinnya biasa aja kali, Na. Awas, nanti naksir lo sama gue." Zidan menggoda.
Meski pun tahu bahwa ucapan Zidan hanyalah gurauan semata, tapi jantung Ana berhasil dibuat berdetak tidak santai karena ucapannya itu. "Kepedean! Kayak bocah SD aja kamu tuh."
"Masa iya bentar lagi mau sweet seventeen gini, dibilang bocah SD?" Demonya dengan ekspresi yang sengaja dibuat kecewa. "Lo bawa motor nggak, Na?"
"Bawa kok. Kenapa?"
"Kirain gue nggak bawa. Yaudah deh, nggak jadi."
"Emang kalo nggak bawa kenapa? Kamu mau ngambilin motor aku ke rumah."
"Kagak gitu, konsepnya."
Lagi-lagi Ana berhasil dibuat tertawa atas respon yang Zidan berikan. Jangan berpikir jika gadis itu bisa bersikap serupa dengan teman laki-laki lainnya di kelas. Ana hanya bisa bersikap ramah dan santai kepada Zidan seorang. Hal ini terjadi bukan karena ia menaruh antensi lebih pada anak lelaki itu. Ana hanya merasa nyaman berinteraksi dengan Zidan yang sudah dikenalnya selama empat tahun.
"Mau ke parkiran bareng nggak, Na?"
"Boleh."
Keduanya beriringan menuju tempat parkir. Jangan berpikir jika dua remaja itu akan mengobrol selama berjalan bersama. Yang terjadi sebenarnya adalah, mereka berdua sama-sama sibuk memainkan ponsel satu sama lain. Sampai pada satu ketika, Zidan berhenti mendadak dan membuat Ana menabrak punggungnya secara tidak sengaja.
"Astagfirullah!" Gadis itu terpekik. "Maaf Zi, nggak sengaja. Kamu ngapain tiba-tiba berhenti sih?"
"Na, buku tugas gue ketinggalan di kelas. Lo duluan aja gak apa-apa kan?" Kata Zidan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...