Bagian 14 - Maaf

263 67 5
                                    

Tidak ada yang lebih dekat dengan manusia, selain kematian. Tidak ada yang setia menunggu manusia setiap detik, selain kematian. Akhir dari kehidupan, adalah kematian.

"Alhamdulillah..."

Dirga bernafas lega setelah Pak Amar memberikan kabar bila Papanya telah siuman. Ia tidak bisa membayangkan jika kematian menghampiri Papanya di saat ia belum sempat mengucapkan kata maaf.

"Terima kasih infonya, Pak." Panggilan telepon itu Dirga akhiri. Ia segera kembali ke lantai lima untuk menemuin Papanya usai menghabiskan waktu di mushola.

Tidak ada kabar yang jauh lebih menyenangkan, selain kabar tentang Papanya yang telah sadarkan diri setelah koma selama dua hari usai menjalani operasi. Mungkin betangan langit yang luas, tidak akan pernah cukup untuk mendeskripsikan betapa besar rasa syukur yang Dirga rasakan saat ini.

"Dirga,"

Suara parau itu langsung menyambut kehadiran Dirga, ketika ia baru memasuki sebuah ruangan VVIP di rumah sakit tersebut. Pandangannya langsung kabur, air matanya sedang berlomba-lomba untuk segera terjun bebas dari kelopak mata. Dirga bukanlah lelaki yang lemah. Ia menarik nafas dan mencoba untuk mengontrol emosinya agar tidak menangis.

"Kamu habis Shalat Magrib, Dir?"

Dirga mengangguk. Ia masih terlalu gengsi untuk bersikap baik kepada Papanya. Apalagi lagi ketika ia mengingat kembali akan pertengkarannya dengan sang Papa saat terakhir kali mereka bertemu.

"Kamu ngapain berdiri aja di situ? Nggak mau tau keadaan Papa gimana?"

Langkahnya mulai mendekat secara perlahan. "Kayaknya Papa udah jauh lebih baik dari sebelumnya."

"Loh, memangnya kamu Dokter, bisa langsung bilang begitu?" Cibir Papa Dirga.

Dirga diam saja. Egonya masih terlalu tinggi. Padahal kondisi hatinya sudah sangat porak-poranda. Lagi-lagi, gengsi mampu menguasai dirinya.

"Gimana hasilnya?"

Kening Dirga mengerut heran atas pertanyaan yang tidak jelas konteksnya itu. "Hasil apa?"

"Loh, tadi Pak Amar ngasih tau Papa, katanya kamu dapat hukuman seminggu penuh buat ngebersihin sekolahan, gara-gara nembak cewek pas lagi upacara kan?" Papa Dirga terkekeh pelan.

"Papa nyuruh Pak Amar buat mata-matain aku ya?!" Intonasi suara Dirga meninggi akibat rasa terkejut setelah mendengar ucapan Papanya

"Kamu nggak tau ya? Istrinya Pak Amar kan mengajar di sekolah kamu. Kalo nggak salah, beliau itu guru Kimia."

Dirga hanya bisa menerima nasib saat kelakuan konyolnya telah sampai ke telinga sang Papa. Untuk beberapa saat, suasana kembali hening. Dirga menatap sendu kondisi Papanya yang terlihat begitu tenang saat terpejam.

"Pa," ucap Dirga, dengan suara pelan.

Tidak ada jawaban apa pun dari pria yang terbaring di brankar rumah sakit itu.

"Aku minta maaf."

Kalimat sederhana itu mampu membuat senyum di wajah Papa Dirga merekah. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan kebahagiaan seperti saat ini.

"Maaf, selama ini aku sering merepotkan Papa. Maaf juga karena sering banget bikin Papa kesal. Aku tau, aku emang bukan anak yang baik. Aku cuma anak yang mungkin sedikit nakal, yang nggak pernah bersikap baik ke Papa, yang banyak banget kurangnya."

Dirgantara & CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang