"Kalo bisa bahan cincinnya jangan yang dari emas ya, Mbak. Biar bisa dipake sama pengantin pria juga soalnya."
"Baik, Bu. Untuk modelnya mau yang kayak gini aja atau mau ada tambahan lain ya?"
"Ana mau ada tambahan lain atau mau kayak gitu aja modelnya?" Tanya Ibu Dirga kepada Ana.
"Kalo soal model, sama kayak gitu aja, Bu."
"Yang kaya gitu aja Mbak kata calon menantu saya."
Ana tersenyum lebar atas perlakuan hangat ibu Dirga kepadanya. Perempuan itu benar-benar bersyukur karena ia bisa diterima dengan baik oleh keluarga Dirga. Padahal awalnya yang membuat Ana ragu adalah tentang latar belakang kelurganya dan keluarga Dirga yang sangat bertolak belakang.
Setelah melakukan pembayaran, Ana dan ibu Dirga keluar dari toko perhiasan itu. Keduanya berlanjut mengunjungi butik mewah yang ada di sebuah mall ternama.
"Mbak Ambar," sapa ibu Dirga kepada seorang wanita berambut bob.
"Eh, Mbak Rahmi. Ya ampun, sudah lama nggak ketemu nih. Apa kabar, Mbak?"
"Alhamdulillah, saya sehat wal'alfiat, Mbak Ambar. Oh ya, kenalin, ini calon menantu saya, namanya Ana."
"Ya ampun, jadi ini calon istrinya Dirga? Kamu cantik sekali, nak."
Ana mengangguk ramah dan bersalaman dengan wanita itu. "Salam kenal, Tante. Saya Ana,"
Layaknya kerabat lama yang baru bertemu lagi, ibu Dirga dan pemilik butik itu terus berbincang santai. Setelahnya, Ana beserta ibu Dirga digiring ke sebuah ruangan yang terdapat gaun pengantin yang terlihat sangat elegan dan cantik.
"Gimana, Ana? Kamu suka nggak sama desainnya? Ibu udah pesan gaun ini dari sebulan yang lalu loh, Na." Ungkap ibu Dirga.
Ana cukup tertegun mendengar penuturan wanita itu.
"Suka banget, Bu. Makasih ya udah berusaha sejauh ini demi pernikahan aku sama Dirga." Ana tersenyum simpul ketika menyebutkan nama Dirga tanpa embel-embel 'Kak' seperti biasanya sesuai kesepakatan mereka.
Beberapa hari yang lalu, lebih tepatnya sebelum berangkat ke Malaysia. Dirga mengajak Ana bertemu di sebuah kafe setelah mereka pulang bekerja. Awalnya Dirga ingin menjemput Ana di kantornya, namun perempuan itu menolak dengan alasan, ia tidak mau jika mereka akan berduaan di dalam mobil.
Hari itu, Ana benar-benar merasa gugup saat memasuki kafe tempat mereka bertemu. Dari pintu masuk, ia sudah bisa menemukan Dirga yang tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arahnya. Untuk beberapa saat, Ana hanya bisa membatu di tempat.
Ana baru menyadari jika ternyata, Dirga itu benar-benar terlahir dengan wajah yang tampan. "Astagfirullah, sadar, Na. Belum halal!" Ia berseru pelan dan mulai melanjutkan langkahnya.
"Maaf ya aku lama, tadi aku shalat ashar dulu di kantor. Kamu udah shalat ashar?" Tanya Ana pertama kali.
Mendengar Ana berbicara lebih dahulu tanpa diminta, membuat senyum di wajah Dirga semakin merekah. Lelaki itu terus-terusan menunduk agar lawan bicaranya tidak menyadari jika ia sedang salah tingkah.
"Dir, kamu kenapa?"
Kali ini, hati Dirga terasa meletup-letup ketika mendengar Ana menyebut namanya tanpa diawali kata 'Kak' seperti biasanya. Ternyata, hal sekecil ini saja bisa membuat Dirga merasa dispesialkan oleh Ana.
"Kamu kenapa sih? Nggak jelas banget." Ana masih belum peka dengan situasi yang terjadi.
"Nggak, aku nggak apa-apa kok." Jawab Dirga yang mati-matian menahan senyumannya. "Oh ya, aku udah shalat ashar, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...